Heartbeat

12.9K 1.1K 43
                                    

Part 1 : Nalu?!

Aku membuka mataku pelan, lalu melihat Louis yang juga baru terbangun. Badannya pasti sakit karena tidur di sofa. Dia tersenyum menatapku, aku selalu suka dengan senyumannya yang hangat. Aku bangkit dari posisi tidurku dan merapihkan selimut.

"Aku hanya punya telur dan beberapa sayuran, kau bisa membuat sarapan?"

"Tentu." Jawabku. Aku segera berdiri dan pergi ke dapur kecil milik Louis, ingin memasak sarapan. Louis membawa handuk dan masuk ke kamar mandi. Omong-omong soal mandi, aku tidak punya baju ganti, bagaimana ini?

Aku bersenandung kecil, lalu melihat Louis yang keluar dari kamar mandi dengan berpakaian lengkap dan juga rambutnya yang basah dan acak-acakan. Aku tersenyum padanya, dan dia membalas senyumanku dengan hangat. Louis duduk di bangku meja makan dan menggunakan elemen anginnya untuk memainkan rambutku.

"Louis! Aku sedang memasak." Ucapku dan dia hanya tertawa tapi tetap memainkan rambutku dengan elemennya. Dia itu benar-benar.

"Louis, duduklah diam, tunggu makanannya sebentar lagi." Ucapku dan dia tertawa lagi. Aku menatapnya dan mendengus sebal.

"Kau ini seperti ibuku saja, eh, atau mau jadi istriku?" Tanyanya enteng dan sepertinya membuat semburat merah muncul dipipiku. Tidak, aku tidak mau merona seperti ini. Aku memalingkan wajahku, kembali memasak agar Louis tak mengetahui bahwa aku merona. Tapi sepertinya aku salah, dia tertawa kencang sekali. Garis bawahi kata kencang sekali.

"Merona heh?"

Dan aku hanya terdiam lalu menyiapkan sarapannya di meja makan. Louis tersenyum lalu dia mengendus bau dari makanan yang kubuat, dengan cepat ia mengambil piring dan memakan sarapannya dengan lahap.

"Lou, pelan-pelan." Ucapku saat melihat Louis makan dengan lahap dan cepat.

"Iya ibu, habisnya makanan ibu nikmat sekali." Ia tertawa kecil di sela-sela kegiatan makannya. Aku hanya tersenyum, seketika terbesit ingatanku pada Nalu. Kenapa, aku seperti merindukannya?

Tidak mungkin.

Aku mengambil piring dan mulai makan. Kukira rasanya cukup lumayan. Jarum jam berdetak, setelah selesai makan, aku dan Louis membereskan peralatan makan dan membersihkannya. Awalnya aku berpikir untuk aku saja yang mencuci piring, tapi dia bilang ingin membantu. Louis tak pandai mencuci piring ternyata.

"Anna." Panggilnya saat kulihat di wajahnya terdapat busa sabun. Aku tertawa pelan dan dia terlihat bingung. Aku mengusap pipinya pelan, membersihkan busa-busa sabun itu. Dan baru kusadari, tanganku juga terkena busa sabun.

"Eh?"

"Hey, pipiku jadi terkena busa begini loh." Ucapnya dan dia memaparkan busa di tangannya ke pipiku. Alhasil, kami menjadi perang busa sabun begini.

"Ah sudah Nalu."

"Nalu?"

"Maksudku- Louis." Ucapku membenarkan dan mengelap wajahku yang basah, buru-buru aku menyelesaikan kegiatan mencuci piring dan berlari ke kamar mandi untuk mandi. Eh? Aku tak punya baju ganti. Segera saja aku keluar masih dengan pakaian lengkap tentunya.

"Lou?" Panggilku, dia mengangkat sebelah alisnya seolah bertanya 'ada apa'?

"E-ehm, itu- A-aku ingin mandi N-namun tak punya baju ganti." Ucapku terbata tapi masih bisa didengar olehnya. Dan dia malah tertawa, sial.

"Louis! Aku serius!"

Dia menyuruhku mendekat dengan gerakan tangannya. Refleks, aku mendekatinya.

"Tidak usah pakai baju saja bagaimana?" Bisiknya di telingaku dengan pelan, dan deru napasnya juga begitu terdengar.

"L-Louis!"

Dia tertawa keras "iya-iya, bercanda."

"Kau tunggu disini saja, kau tahu 'kan kalau kau masih berstatus tahanan? Kalau kelihatan orang bisa gawat, aku akan ke pasar dan membeli beberapa pakaian."

"Tapi Louis.."

"Sudahlah, jika ada apa-apa, kau harus coba bersembunyi oke?"

-

Tes!

Nalu mengelap keringatnya yang bercucuran. Melawan ayahnya selama dua jam tanpa henti bukan hal yang mudah. Napasnya terengah-engah, berulang kali mencoba menyerang tapi sama sekali tak mengenai sedikit pun tubuh ayahnya. Sebaliknya, goresan-goresan luka bersarang di tubuhnya.

"Sudah kubilang bergabung denganku saja, memang seberapa berharganya sih gadis itu untukmu? Masih banyak gadis di luaran sana yang lebih cantik daripada dia." Ucap Ayah Nalu dengan suara beratnya. Beberapa kerutan sedikit nampak saat ia berbicara.

"Kalau ada yang lebih cantik dari Anna, memangnya aku peduli hah?! Masa bodo dengan kecantikan, dia berharga untukku!"

Ayah Nalu tertawa renyah, meremehkan. Angin semilir berhembus, menerbangkan rambut kedua pria berbeda umur satu darah tersebut. "Kau mencintainya? Kuberitahu, cinta itu sama sekali tak indah, hanya awalnya saja."

"Jangan berkata seolah kau pakar cinta! Kau hanya memanfaatkan ibu! Hati manusia sepertimu itu sudah tertutup!"

"Hahah, memangnya kau sudah lahir sehingga bisa berkata ayah hanya memanfaatkan ibumu?" Tanya Ayah Nalu pelan mengerakkan tanah dari bawah dengan pelan. Menjerat kaki dan tangan Nalu sehingga dia tak bisa bergerak.

Ayahnya berjalan pelan, menatap Nalu yang juga menatapnya tajam. Terbesir rasa rindu pada diri Nalu, tapi ditepis oleh ego yang dimiliki Nalu. Ayahnya menepuk puncak kepalanya pelan, mengelusnya seolah Nalu masih anak-anak. Dia, mungkin ingin menunjukkan kasih sayangnya. Betapa rindunya dia pada anak semata wayangnya ini. Semenjak kepergian ibunya, Nalu berubah dingin. Dia memang pemarah, sorot matanya terkadang tajam. Sebenarnya, dia kesepian. Ada rasa senang saat mengetahui anaknya sudah jatuh cinta, tapi dia jatuh cinta pada orang yang salah. Anna akan mati, entah ditangan siapa. Anak itu terlalu banyak memiliki kekuatan ditubuhnya karena ibunya. Dia, hanya tak ingin Nalu merasakan kehilangan, lagi.

Beberapa tahun yang lalu, saat dia mengetahui Nalu dekat dengan seorang anak kecil yang selalu ia temui di padang rumput, hatinya seolah tersenyum. Nalu bisa menemukan obatnya sendiri. Senyumnya selalu mengembang saat akan pergi mengunjung Oxel, yang bukan kerajaannya sendiri.

"Ayah, hanya ingin kau tahu, ayah menyayangimu." Ucapnya lalu membekap mulut Nalu dengan kain dan membuatnya tak sadar. Nalu, hanya harus bergabung dengannya, untuk menguasai dunia dan mendapatkan kekuatan. Dia, ingin menghapus kasta yang ada. Dia ingin, semua kekuatan hanya bertumpu pada satu titik, ayah angkatnya, dia, dan anaknya Nalu. Biarlah semuanya tak memiliki elemen dan tak membeda-bedakan golongan.

"Nalu, maafkan ayah." Ucapnya dan tanpa sadar dia menitikkan air matanya. Dia jarang menitikkan air mata. Mungkin benar kata Nalu, hatinya sudah tertutup. Mungkin. Tapi, tak apa. Nyatanya, dia tak sadar dia hanya seorang ayah yang sama kesepiannya dengan anaknya. Jika saja mereka berdua bisa mengobrol dan menghabiskan waktu bersama, alur ceritanya tak akan jadi seperti ini.

Itu hanya 'Jika saja' bukan?

[]

ACADEMY [END]Where stories live. Discover now