We?

12.6K 1.1K 38
                                    

Part 2 : Lou

Aku membuka mataku dan menggenggam tanganku sendiri, rasanya aku takut meski ini sudah pagi. Aku takut hukuman yang akan ditetapkan itu adalah kematian. Memang, bukan aku yang bersalah tapi tetap saja kini aku yang disalahkan. Pengap, hanya ada ventilasi udara yang bahkan kecil sekali dan sudah kotor karena sarang laba-laba.

Rasanya, aku baru bersekolah disini, sudah mau mati saja. Aku menghembuskan napasku pelan, itu berarti aku bisa bertemu ibu. Ibu yang selalu hadir, entah itu halusinasiku atau kenyataan. Saat di goa, aku tahu ibu sudah meninggal. Namun, aku rindu padanya.

"Kasihan sekali dia, hukumannya adalah hukuman mati." Ucap salah satu penjaga yang membawakan aku makanan, meski pergelangan tanganku diborgol rantai seperti ini, kurasa aku masih bisa makan dengan baik. Dia menaruh sepiring makanan dan segelas air putih lalu keluar lagi. Salah seorang penjaga yang lainnya tersenyum senang menatapku. "Dia memang penjahat, jangan hiraukan, kita hanya penjaga."

"Benar katamu, kita juga harus mencambuknya jika berusaha kabur." Ucap penjaga itu membuatku bergidik, tapi aku harus kabur dari sini, jika tidak aku tidak akan melihat dunia lagi. Ini sama sekali bukan salahku, aku tidak tahu apa-apa.

Mereka pergi, oh aku bahkan ingin buang air kecil.

"Hei!" Teriakku dan mereka kembali. Aku bernapas lega. "Lepaskan aku, aku ingin buang air kecil"

Mereka mengangguk dan mengantarku ke kamar kecil yang sama sekali tak ada jendelanya. Hah, setidaknya 'kan aku bisa kabur jika ada jendela. Sudahlah, aku akan mencoba cara lain. Louis, kau sedang apa kali ini?

-

Louis menegang, telinganya berfungsi baik. Ia tidak mungkin salah dengar, hukuman Anna. Hukuman mati. Oh, gadis itu bahkan tak tahu apapun. Louis berlari menuju asrama perempuan, mengetuk pintu kamar yang ditempat oleh Alexa, Calista, dan juga Anna --dulunya-- hingga terlihat dua orang perempuan yang menguap karena kantuk.

"Ada apa louis? Maksudku p-pangeran?" Ucap Calista membenahi rambutnya yang acak-acakan karena baru terbangun dari tidurnya, meskipun dia sama sekali tak nampak merapihkan, tapi mengacak-acaknya lebih parah lagi, gadis itu mungkin masih berada di dunia mimpi setengah nyawanya. Alexa pun melakukan hal serupa, kondisi rambutnya lebih buruk daripada Calista, tapi ia lebih sadar.

"Kalian mengenali wajah penjaga itu 'kan?" Tanya Louis, mereka berdua hanya menjawabnya dengan anggukan lemas. Kesadaran mereka belum benar-benar terkumpul, mungkin baru sekitar delapan puluh persen, mungkin bukan mereka, tapi Calista yang sedari tadi masih menguap saja.

"Bantu Anna, kumohon."

"Tak bisa Pangeran, anak kepala sekolah Serena sendiri yang menjadi korbannya, meski kita yakin bahwa bukan Anna pelakunya, namun itu sulit dilakukan, bahkan nihil sekali bisa dilakukan." Ucap Alexa panjang lebar, Calista menatap Alexa aneh.

"Memang bukan Anna 'kan pengebom itu Na- aw!" Ucapan Calista berhenti seketika Alexa menginjak kakinya. Dan Alexa memelototinya, Calista menunduk, seluruh nyawanya sudah berkumpul karena injakan dari kaki Alexa.

"Apa yang mau kau ucapkan?" Tanya Louis, curiga pada kedua gadis ini. Matanya tajam, setajam elang yang mampu melumpuhkan mangsanya dengan cepat.

"Tidak apa-apa, ah! Kami ada kelas ramuan sebentar lagi Louis-maksudku pangeran." Alexa buru-buru menarik Calista masuk kedalam dan menutup pintunya. Louis mengetuknya berulang kali, tak ada jawaban. Ada yang aneh pada diri mereka. Louis harus mencari tahu, tapi yang pasti, ia harus membawa kabur Anna terlebih dahulu dari penjara itu. Takkan ia biarkan Anna yang tak bersalah meregang nyawa karena bom itu.

-


Tik!

Tetes-tetes air membasahi wajahnya. Air itu merembes dari langit-langit penjara bawah tanah. Rasanya gadis itu ingin menangis, kehilangan kedua orang tua, tinggal di akademi, dan mati. Hebat sekali kisahnya. Matanya menelisik, saat melihat sosok pemuda yang memegang kunci penjara.

"Louis?" Pemuda itu tersenyum saat dipanggil namanya, dibukanya gembok pintu penjara yang kuat dan mampu menyerap elemen jika mereka mengeluarkannya.

"Kau tak pernah mengeluarkan elemenmu 'kan?" Tanya louis lalu membuka borgol di tangan Anna.

"Tidak, kenapa aku tidak kepikiran ya?"

"Jangan mencobanya, elemenmu akan terserap karena besi-besi ini, termasuk kurungan ini." Ucap Louis, selesai membuka borgol tangan dan kaki Anna. Dibantunya gadis itu berdiri lalu melihat kaki gadis ini yang sepertinya terkena cambukan.

"Kakimu, siapa yang melakukannya?"

"Ah, ini tadi aku mencoba melarikan diri setelah aku keluar toilet namun-"

"Aku tak bilang bagaimana kau mendapatkan luka ini, aku bertanya siapa yang melakukannya." Potong Louis, rahangnya mengeras, dia sangat marah. Luka cambukan itu bukan hanya satu, ada sekitar sepuluh hingga lima belas luka bersarang di kaki gadis ini.

"Lou, sudahlah."

"Lou?" Tanyanya menatap Anna.

"Panggilanmu." Jawab Anna sembari tersenyum, mereka berdua berjalan pelan, sesekali bersembunyi di balik dinding jika prajurit datang hanya untuk sekedar lewat.

Anna menghembuskan napasnya lega, dia dan Louis berhasil keluar dari sana dengan selamat. Tunggu, dimana Nalu? Apa Louis tak meminta bantuannya?

"Lou, dimana Nalu?"

"Ia sedang pergi."

"Kemana?"

"Kembali ke kerajaannya."

-


Anna mendudukkan dirinya di kasur empuk milik Louis. Louis berkata kalau dirinya yang merupakan seorang pangeran itu mendapat kamar khusus untuknya sendiri. Nalu pun juga memiliki kamar sendiri. Louis menggantungkan jubahnya, dan duduk di tepi ranjang, di sampingku.

"Mengapa tidak mengantarku ke kamar?" Tanyaku pelan, Louis masih menatapku sembari tersenyum.

"Aku punya firasat buruk dengan kedua teman sekamarmu itu." Jawaban Louis membuatku mengeryit? Firasat buruk? Kenapa? Kurasa mereka sangat baik. Louis menggenggam tanganku, mungkin dia melihat dahiku yang mengerut karena memikirkan ucapan tentang firasatnya kepada Alexa dan Calista tadi.

"Percayalah, selalu percaya padaku." Ia menyelipkan anak rambutku di telinga, mengusap pipiku lembut dengan senyuman hangat. Dia tersenyum, dan akupun ikut tersenyum. Lama kelamaan ia mendekatkan kepalanya ke kepalaku. Terus begitu.

"Ah, itu emm, kalau begitu aku akan tidur di sofa." Ucapku segera berdiri membuat Louis melepaskan tangannya dari pipiku. Aku segera berjalan menuju sofa putih yang menurutku cukup nyaman untuk dijadikan tempat tidur.

"Jangan, tidurlah di kasur." Ucapnya pelan, dan membuatku menoleh kebelakang. Menatapnya yang juga menatapku.

"Lalu kau?" Tanyaku dan dia tersenyum lebar.

"Tidur di kasur ini juga."

Aku mengeryit, dan dia tertawa keras. Tangannya mengelus puncak kepalaku, tatapan matanya benar-benar lembut.

"Aku akan tidur di sofa." Bisiknya di telingaku setelah itu pergi mengambil beberapa bantal padahal aku masih terdiam disini. Dia menatapku lalu menampakkan cengirannya dan terkekeh. Sebelum pergi ke sofa, sempat-sempatnya ia menyentil dahiku.

"Louis payah!"

"Habisnya kau lucu sekali, sudah sana tidur."  Louis memejamkan matanya yang membuatku segera berbaring di kasur empuk itu. Kulirik Louis yang tertidur di sofa, aku tersenyum tipis. Terima kasih, Louis.

[]

ACADEMY [END]Where stories live. Discover now