Anna Guerelia

25.1K 2K 38
                                    

Part 2 : Nalu Gravano

Aku membaca surat itu sekali lagi, ingin aku memberitahu ibu tapi ia sedang tidur. Ibu terlihat sangat lelah dan tentu aku tidak tega membangunkannya untuk ini. Ia mengambil cuti kerja untuk istirahat dan aku seperti biasanya mulai berjualan koran dengan sepeda reot yang berwarna putih. Kutaruh surat itu di lemari, di bawah pakaianku lalu mulai mengayuh sepedaku untuk mengambil koran di toko.

"Ah Anna sudah datang? Hari ini mendung, kau tetap mau berjualan?" Tanya pemilik toko dengan suara khasnya. Aku tersenyum, dia baik sekali seperti ibuku sendiri.

"Tidak apa bu, aku membawa payung untuk jaga-jaga." Pemilik toko itu mengangguk dan memberikan koran sesuai dengan kapasitas keranjang sepedaku. Aku masih sekolah, tapi aku mengambil jam siang agar aku bisa berjualan koran dulu di pagi hari.

Di sekolah, prestasiku biasa saja bahkan hampir di bawah rata-rata. Semua orang mengejekku, mengata-ngataiku dengan kata bodoh, miskin, dan jelek. Aku harus tak acuh dengan ucapan mereka. Karena jika aku tanggapi, aku sendiri yang akan dapat masalah. Namun, jika tidak ditanggapi akan tetap seperti itu. Sebenarnya kedua pilihan itu tidak enak, tapi daripada berurusan dengan sekolah, aku lebih baik diam saja.

"Koran! Koran!" Teriakku lantang di bawah langit yang mendung ini. Suasananya sangat sejuk, semoga tidak turun hujan dulu.

Bruk!

Sebuah batu dilempar mengenai kakiku. Perih, kutengok kakiku yang kesakitan. Ternyata mengeluarkan darah cukup banyak, aku meringis, batunya tajam sekali sampai merobek sedikit celanaku. Aku menyandarkan sepedaku di samping pohon besar, mencoba mengambil air dari keranjang dan membersihkan luka.

"Hei!" seseorang berteriak membuatku menoleh kearah sumber suara. Seorang pemuda yang kulihat di pemakaman waktu itu menghampiriku. "Batu itu mengenaimu ya? Maaf, aku sedang melatih teleportasiku." Ucapnya meminta maaf dan berjongkok lalu mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Plester, dia memplester kakiku dengan pelan dan hati-hati.

"Sementara pakai plester dahulu, sepedamu biar aku yang kayuh, kau hanya perlu duduk di belakang." Perintahnya memaksa, tapi aku hanya mengangguk mengikuti perkataannya. Dia memboncengiku. Aku berpikir, apakah dia benar-benar sepertiku? Kesepian, tapi masih pantang menyerah dan berharap pada hidup? Seketika ada sesuatu melintas dalam hati, aku ingin punya teman setidaknya seperti dia satu.

"Siapa namamu?" Tanyaku spontan dan dia menoleh dengan senyuman tipis. "Nalu, Nalu Gravano pangeran dari Negeri Wlys." Jawabnya seketika membuatku terkejut, pangeran? Apakah benar?

"Benarkah? Aku tidak percaya." Tanyaku dan dia kembali mengayuh sepedaku dan memperhatikan jalanan. "Terserahlah, yang penting kau adalah orang payah yang tak mengenalku." Dingin, ucapannya begitu dingin dan tak tersentuh. Berbeda sekali saat dia berbicara padaku beberapa menit yang lalu.

"Apakah kau kesini ingin bersekolah di Academy?" Tanyaku dan kulihat kepalanya mengangguk.

"Iya, aku terbebani oleh nama keluargaku dan seketika aku harus mengikuti apa yang mereka suruh." Jawabnya terdengar sendu, aku terkekeh.

"Beban itu pasti sangat berat." Ucapku dan dia pun tertawa.

"Tentu saja." Bisa kurasakan suaranya kian berubah, menjadi lebih hangat.

"Aku pernah ke pemakaman, menjenguk ayahku dan kulihat kau ada disana, siapa yang kau jenguk disana?" Tanyaku, dia berhenti bertepatan dengan lonceng jam yang berbunyi setiap satu jam sekali.

"Ibu kandungku."

-

Aku pulang kerumah, melihat ibu yang tengah menjemur pakaian di siang hari ini. Cuacanya berubah, menjadi terik dan cocok sekali untuk menjemur pakaian. Padahal tadi mendung sekali.

"Hai bu." Sapaku dan mencium punggung tangan ibu yang sedikit basah. Aku berjalan ke arah pintu rumahku dan duduk di lantai. Kami tidak mampu untuk membeli sofa jadi kami hanya duduk seperti ini, tapi menurutku ini menyenangkan. Kulihat ibu yang membuka pintu dan tersenyum kearahku.

"Kau harus punya masa depan, pergilah dan terima beasiswa itu." Ucapannya membuatku terkejut, apakah ibu sudah membaca surat itu? Aku bahkan belum memberitahunya.

"Aku harus pergi ke sekolah bu, aku akan memikirkannya." Aku mengambil handuk dan segera pergi mandi lalu berpakaian. Seragam sekolahku yang biasa, tak terlalu mewah tapi menurutku ini bagus. Ibuku harus menabung dua bulan untuk membeli seragam ini. Aku segera berangkat, mengendarai sepeda.

"Hati-hati, apapun keputusanmu ibu harap itu yang terbaik untukmu." Ibuku tersenyum dan aku pun tanpa sadar meneteskan air mata. Apa aku sanggup meninggalkannya? Membiarkan semua beban hanya dipikul olehnya? Ibu, aku harus apa?

[]

ACADEMY [END]Where stories live. Discover now