PMB 36 : Pungguk Memanjat Langit

Start from the beginning
                                    

          Rasty tak perlu mendorong Sabda karena Randy yang baru sampai sudah melakukannya. Pemuda itu dengan kejam menghajar pundak Abangnya dengan menggunakan botol minuman, kemudian berkata, "Berhenti bertingkah menjijikkan!"

          Sabda tertawa saja menerima cacian itu. Dengan gembira ia menepuk-nepuk tempat kosong di sampingnya, mempersilakan Randy untuk duduk di sampingnya. Sambil menghela napas Randy membanting tubuh di kursi, kemudian melipat lengan kemejanya. Ia terlihat lelah karena baru pulang bekerja, namun tetap menyempatkan diri ke bandara karena hari ini Sabda berangkat kembali ke Kalimantan.

"Ayah dan Ibu mana?" Tanya Randy sambil celingukan mencari-cari.

"Beli oleh-oleh katanya," Sabda memutar bola mata ketika mengatakan itu, "Padahal nggak perlu, nanti juga yang makan orang kantor."

"Kan emang dibelikan untuk teman-teman kerja Abang," Randy mengatakan itu sambil memberi Abangnya ekspresi aneh.

"Loh? Bukan untuk Abang?"

          Rasty dan Randy langsung melengos kembar karena sikap pura-pura bodoh Abang mereka. Pantas saja Sabda belum menikah, tingkahnya membuat para gadis tidak yakin untuk menikahi pria sinting itu. Keduanya bahkan prihatin dengan siapapun gadis yang nanti cukup sial karena berjodoh dengan Sabda yang kolokan dan tidak mampu bersikap serius.

          Rasty melambaikan tangan ketika melihat sosok Raffa yang celingukan mencari-cari. Rasty sengaja mengundang pemuda itu untuk mengantarkan Sabda yang akan pulang ke Kalimantan, dengan harapan agar Sabda luluh dan menerima hubungan mereka. Rasty tahu tidak akan secepat itu untuk Sabda menerima hubungan mereka, tapi setidaknya mereka sudah mencoba. Batu yang keras sekalipun akan pecah bila terus-terusan ditetesi air kan? Iya, peribahasanya memang tidak tepat seperti itu, yang penting kalian paham maknanya.

"Maaf terlambat, tadi ada pekerjaan tambahan mendadak."

"Bukannya kamu kerja di kantor keluarga?"

Raffa mengangguk, "Kebetulan aku tamat berbarengan dengan mereka yang sedang membuka lowongan pekerjaan, ku coba dan diterima."

          Jawaban sederhana itu segera membuat semua orang paham kalau pekerjaan Raffa saat ini tidak membawa serta embel-embel keluarganya. Mungkin memang pihak perusahaan menerimanya dengan pertimbangan latar belakang keluarga, namun Raffa mencoba peruntungannya sama seperti karyawan lainnya.

"Udah jadi karyawan tetap?"

"Sejak tiga bulan lalu, Bang."

"Keran juga baru tiga bulan jadi karyawan tetap," Rasty memberitahu, "Waktu masih training kasihan, sering pulang malam. Kayaknya diperbudak sama atasannya."

"Makasih atas penjelasannya ya Ras," Randy menyahuti dengan ekspresi sengit.

"Iya sama-sama," Rasty membalas dengan senyuman manis.

"Kok kesal ya?" Keluh Randy tak berdaya.

"Bang, udah waktunya untuk masuk..," Senja tak melanjutkan kalimatnya karena menyadari keberadaan Raffa dan langsung berkata, "Eh, ada nak Raffa."

"Sore Tante, sore Om."

"Nggak kerja?"

"Udah pulang, Om."

          Frans mengangguk-angguk dan mengurungkan niatnya untuk memperpanjang percakapan karena Sabda sudah berdiri. Pemuda itu menggendong ranselnya dengan sikap percaya diri, sambil memegang KTP dan tiket di tangan lain. Ia kemudian merentangkan tangan kepada Senja yang langsung tenggelam ke dalam pelukannya. Tidak lupa pemuda itu mencium tangan Frans dengan sopan, yang dibalas Ayahnya dengan berbagai nasehat untuk berhati-hati di perantauan.

Pungguk Yang Merindukan Bulan - Slow UpdateWhere stories live. Discover now