3

3.4K 155 2
                                    


Seminggu sudah berlalu, sejak memutuskan untuk merawat bayi yang mereka temukan di depan rumah. Waktu yang mereka lewati, terasa begitu cepat berlalu.

Tidak hanya waktu yang terasa cepat berlalu, kehidupan yang dijalani mereka juga terasa berbeda.

Dari yang biasanya mereka hanya perlu berbagi tugas untuk melakukan bersih-bersih rumah, kini mereka berempat juga harus berbagi tugas merawat baby Ray.

Jadi, sehari setelah mereka memutuskan merawat bayi itu. Mereka berempat juga sepakat untuk memberikan nama bayinya--berhubung dikerajang si bayi, mereka tidak menemukan petunjuk apapun tentang bayi ini selain popok dan susu.

Dengan di awali perdebatan kecil antara mereka, akhirnya mereka menemukan nama yang pas untuk si bayi. Yaitu Rayhan Pertama, atau panggil saja dia Ray.

-----

Seperti yang terjadi dihari sebelumya. Di hari senin pagi ini, keempat gadis itu sudah terlihat sibuk lari sana-sini. Padahal jam saja baru menunjukkan pukul setengah lima pagi, tapi keempatnya sudah kelimpungan dan terus teriak-teriakan. Entah neriakin apa? Untung para tetangga udah kebal sama acara teriakan mereka. Kalo gak, mereka berempat pasti sudah di usir dari situ.

Oh, dan satu lagi selain kebal sama suara teriakan dari keempat gadis SMA itu. Tetangga yang tinggal disekitar kontrakan Ify dkk juga mulai kebal sama nyanyian dari Ray yang ikut menambah keramaian rumah tersebut setiap hari.

"Aduuh, Ify ini gimana sih, kok Ray gak mau berhenti nangis?" Via mengacak rambutnya frustasi, seperti yang sudah di jadwal minggu lalu--saat pertama kali menemukan Raya-- hari senin ini Via mendapat gantian buat mengurus Ray dan entah kenapa setiap kali dirinya yang kebagian ngurus Ray, pasti bayi itu bakal rewel pake banget.

Ify menggeleng mendengar teriakan frustasi Via. Ia yakin, Via sekarang pasti lagi ngacak-ngacak rambutnya. Ify terkekeh, membayangkan betapa awut-awutannya rambut Via itu.

"Coba teruslah Vi, soalnya gue masih nanggung nih!" Ify balas teriak karena saat ini dia sedang ada di dalam kamar mandi.

Via makin frustasi, mendengar teriakan Ify yang menyuruhnya berusaha. Mau usaha gimana lagi coba? Segala cara udah Via coba, tetapi Ray masih aja nangis. Kalo udah begitu, siapa yang gak frustasi? Harusnya kan yang frustasi itu Shilla, kenapa malah dia. Huh, Via menghela napas kasar.

"Kalian berdua gak perlu ketawa deh, bukannya bantuin!" Via menatap tajam Agni dan Shilla yang sudah berdiri didepan pintu dengan tampilan yang sudah rapih.

"Ini juga mau kita bantuin kali Vi," Agni memutar bola matanya malas, kakinya melangkah menghampiri Via dan Ray di ikuti oleh Shilla yang membawa susu untuk Ray.

"Mendingan sekarang lo mandi gih, kayanya Ify juga udah selesai tuh urusannya." suruh Agni yang langsung mengambil alih Ray dari tangan Via.

"Dari tadi kek," Via langsung melesat cepat ke kamar mandi, pasalnya hanya tinggal Via aja yang belum mandi.

Shilla dan Agni terkekeh melihat Via yang melesat seperti itu. Di serahkannya susu yang Shilla pegang kepada Agni, buat dikasih ke Ray biar diam. Benar saja begitu Ray minum susu tangisnya langsung reda, kayanya tuh bayi lapar. Makanya nangis gak bisa di apa-apain.

Ify datang setelah Ray hampir saja tidur. Di bukanya baju yang melekat di tubuh bayi itu, sambil menunggu Via selesai bersiap lebih baik sekarang giliran dia mandiin Ray. Sebelum di titipin ke tetangga, Ray harus udah wangi dung.

----------

Sejak tadi, Via tak berhenti mendesah gelisah melihat Ray yang tengah menangis. Hari sudah semakin siang, tetapi Ray terus saja menangis.

Karena hari ini Via libur kerja, jadi hari ini Via bertugas menjaga Ray. Dan seperti biasa, Ray pasti akan nangis kalo pas bagian dia yang jaga. Meski sekarang nangisnya Ray, ada sebabnya. Tetep aja, judulnya nangis. Kata tetangga yang dititipin Ray sih, Ray kena demam.

Huh, nasib banget yak? Ada aja yang terjadi sama Ray. Kenapa demamnya harus nunggu Via yang dapet jatah menjaga Ray? Kenapa nggak pas Ify, Via, atau Agni yang jaga.

"Aduuh, ini gimana Ray nya nangis terus? badannya juga panas banget." Via terus mondar-mandir gak jelas, ia benar-benar bingung.

"Apa gue nelpon Ify aja kali ya?"

"Pokoknya ya Vi, lo harus bener-bener jaga si Ray. Gue gak mau dengar, kalo lo tau-tau nelpon dan ngeluh soal Ray," ketika tangannya sudah siap memencet nomor Ify, tiba-tiba dia teringat akan ucapan Ify tadi, sebelum berangkat kerja.

Via berdecak, ia benar-benar bingung. "Trus sekarang gue harus gimana? Aduh, Ray kamu kenapa sih? Jangan bikin gue khawatir dong...." di raihnya Ray ke dalam gendongannya berharap Ray akan diam.

Tetapi sepertinya gak berhasil, Ray masih saja menangis.

"Ayolah Ray, berhenti menangis. Gue bener-bener bingung ini," masih dengan menggendong Ray, Via berusaha mengajak Ray berbicara. Yang jelas Ray gak akan jawab, kan dia masih kecil.

"Apa gue bawa ke rumah sakit aja ya si Ray? Tetapi kan... Gue belum ngasih tau Ify, nanti kalo dia ngomel-ngomel gimana dong?"

"Tapi... Kalo Ray kenapa-kenapa gimana? Ah udahlah, bawa sekarang aja." Setelah sekian lama berdebat dengan pemikirannya sendiri, akhirnya Via mengambil keputusan.

Ia akan membawa Ray, ke rumah sakit.

Setelah semua barang-barang Ray siap, Via segera membawa Ray keluar rumah. Tak lupa, mengunci pintunya.

-------

"Pak, bisa cepetan jalan gak sih?" tanya Via ketika melihat sopir angkot yang ia naiki tidak segera menjalankan angkotnya, hanya berteriak. "Kosong, kosong."
Padahal, jika dilihat angkotnya sudah penuh.

"Ya elah neng, yang sabar ngapa? Nanti juga jalan kok, kalo angkotnya udah penuh." dengan nada santai sang sopir menjawab.

"Elah pak, dari tadi juga saya udah sabar." Via memutar bola matanya, "tapi mau sampai kapan coba ini angkot jalan? Adek saya ini butuh ke rumah sakit cepet tau gak pak!"

"Kalo enengnya emang butuh cepet-cepet ke rumah sakit, kenapa tadi naik angkot? Kan bisa naik taksi neng?" ujar sopir angkot itu.

Via berdecak, "Ah elah, ini abang angkot bukannya jalan malah ngejawab mulu dari tadi."

"Ya udahlah bang, saya gak jadi naik angkot." dengan wajah kesal, Via memutuskan untuk turun dari angkot.

"Eh-eh neng kalo gitu bayar dulu dong neng," todong abang angkot saat melihat Via akan pergi menjauh dari angkotnya.

Via berdecak, "Ngapain bayar bang, kan saya naiknya gak sampai tujuan?"

"Iya, tapikan nengnya udah setengah jalan naik angkot saya."

"Setengah jalan dari hongkong!" Via berdecak--lagi-- dan melengos pergi menjauh dari angkot.

Bodo' amat ia ditontonin sama orang-orang, urusannya bukan sama mereka ini.

"Yee si eneng, udah mau naik tapi gak mau bayar." dengan menahan kesal si abang angkot akhirnya menjalankan angkotnya juga. Padahal didalemnya belum penuh, mungkin takut penumpangnya kabur kaya Via kali ya.

Via kembali berdecak, sekarang ia harus nunggu angkot atau taksi lewat. Mana hari ini panas banget lagi, ah kalo aja Via ketemu orang yang di kenal atau kalo gak ketemu teman sekolah deh paling minim. Via akan cegat tuh orang, dan minta tolong buat ngaterin ke rumah sakit deh. Kasihan juga kalo Ray harus lama kena panas-panasan padahal badannya lagi panas.

Di edarkan pandangannya, menyapu seluruh jalanan. Siapa tau ngeliat mobil orang yang ia kenal. Padahal Via kan gak punya kenalan.

Matanya menajam dan berbinar ketika dari kejauhan ia melihat mobil sesorang yang berjalan cukup pelan didepannya, kenal gak kenal Via akan sok kenal. Ini demi Ray.

Dengan semangat, Via berlari dan menghadang mobil yang sebentar lagi akan melewati dirinya.



Tbc

Baby's Love (End) √Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ