[Yang Sebenarnya]

143 17 16
                                    

...

♡♡♡

Sudah seminggu berlalu saat penutupan Porseni yang entah ke-berapa itu diadakan. Hari-hariku masih sama seperti biasanya, tidak ada yang nampak beda. Bahkan sikap Dev yang usil, dan segala jurus gombalan sejuta prianya masih menjadi santapan sehari-hariku.

Hari ini mata pelajaran seni yang akan dibawakan oleh Bu Rusni. Bu Rusni menyuruh kami semua untuk ke ruang seni. Dalam hati aku sudah berdo'a semoga saja materi kali ini bukan menari. Ayolah, aku sangat kaku sekali jika disuruh menari.

Aku berjalan beriringan dengan Valerie yang dari tadi mengoceh tentang idolanya. Siapa lagi kalau bukan Bang Zahri?

"Udah ceritanya?" keluhku. Kupingku sudah penuh akan pujian-pujian akan ketampanan, kesopanan, keramahan, dan ke-aduhai-aduhaian Bang Zahri.

Saat aku hendak mempercepat langkahku meninggalkan Valerie, tiba-tiba Dev datang dan menyamakan langkahnya denganku, membuatku, Valerie dan Dev kini berada di posisi yang sejajar.

Lupa ku katakan bahwa sejak Dev mengatakan bahwa dia hanya menganggap sebagai seorang sahabat aku mulai menjaga jarak dengannya, tapi anehnya dia masih tetap mendekati hingga meluncurkan gombalan-gombalan yang sudah sering terdengar bahkan ala-ala dia sendiri.

"Halo Arv" sapa Dev, sembari melambaikan tangan.

Aku tak menggubris sapaannya, yang kulakukan hanyalah melirik sejenak ke arahnya.

"Yang disapa cuman Zhilla doang?" sahut Valerie.

"Iya" jawab Dev enteng "Udah lo jangan ganggu. Hush!" usirnya tanpa beban.

Valerie hanya mendengus sebal sambil melontarkan sumpah serapahnya kepada Dev. Kini hanya Dev dan aku yang berjalan beriringan, karena Valerie menyingkir dari area kami.

"Arv, kok makin hari lo makin cantik?" tanya Dev, nampaknya jurus rayunya mulai dikeluarkan.

"Alhamdulillah" jawabku singkat.

"Jadi pengen nyulik" imbuhnya.

Aku tak merespon perkataannya melainkan mempercepat langkahku menyusul Dian yang berjalan paling depan.

Dian sedikit tersentak dengan kehadiranku yang tiba-tiba. Ia menoleh padaku seakan bertanya apa yang terjadi, namun lagi-lagi aku diam dan hanya melempar senyum kecil padanya.

Jarak ruang seni dari kelasku memang cukup jauh. Kami semua harus melewati koridor kelas sepuluh, lalu koridor utama kemudian naik ke lantai dua di gedung utama. Gedung utama sendiri ada 3 lantai, dengan jumlah ruangan kurang lebih tiga puluh dua.

Aku tiba di ambang pintu, dan terlihat jelas di sana Bu Rusni yang sedang menunggu kami. Saat Bu Rusni mempersilahkan masuk, barulah kami masuk. Ah, aku jadi teringat saat MOPDB dulu. Saat itu aku tidak tahu apa-apa. Senior sering menegurku karena aku duduk sebelum dipersilahkan, berdiri sebelum dipersilahkan bahkan masuk kelas sebelum dipersilahkan. Sungguh! Kalau diingat lagi mereka semua menyebalkan dan lebih parahnya Bang Zahri yang waktu itu juga menjadi panitia bukannya menolongku atau membelaku dia malah menambah-nambahi.

Kami semua duduk di atas lantai yang telah dialasi oleh karpet biru. Nampak di sekeliling ada beberapa alat musik yang cukup familiar seperti gitar, drum, biola dan piano.

Azhrilla [Very Slow Update]Where stories live. Discover now