Devo menatap tajam tiga orang yang tersenyum senang di meja makan. Senyum mulai memudar dari bibir mereka setelah melihat tatapan Devo.

"Apa selama ini, keluarga kecil ini bikin kalian tersiksa? Makanya kalian bisa nampilin ekspresi bahagia pas mau pisah?" Devo berdiri, ia membanting serbetnya dengan kasar di atas piring.

"Devan bersekolah di sekolah normal, oh great saya ikut senang. Tapi kalian?" Devo menatap Ayah dan Ibunya dengan emosi.

"Saya selama ini hanya menahan apa yang saya rasakan. Devan di sekolahkan di sekolah normal, itu keuntungan yang dia dapet dengan perpisahan kalian. Tapi saya? Sebutkan keuntungan yang saya dapet kalo ikut senang dengan keputusan kalian ini," Devo melipat kedua tangannya di depan dada. Ditatapnya Ayahnya yang menatapnya dengan marah dan Ibunya yang menunduk.

Devo tersenyum sinis, "Gak bisa jawab-eh?" Ujarnya ketus, kemudian ia berlalu menaiki tangga.

"Keuntungan untukmu, kamu terbebas dari tekanan batin karena pertengkaran kami," suara Ayahnya menghentikan langkah Devo.

"Itu keuntungan yang dirasakan Devan juga. Sebutkan yang menguntungkan saya pribadi," ketusnya.

Lama, ia diam di tangga. Ia menunggu jawaban orang tuanya. Namun ia sadar, pertanyaan itu tak akan dijawab oleh orang tuanya.

"Gak ada, kan?" Devo terdiam sebentar, lalu melanjutkan, "Ya sudah terserah kalian lah. Saya capek. Kalian gak butuh pendapat saya juga soal ini. Intinya, saya benci kalian," Devo diam lagi. Kemudian melanjutkan langkahnya menaiki tangga.

"Kalau besok pagi saya tidak ada lagi di rumah ini, atau bahkan saya tidak ada di dunia ini besok, jangan kaget. Saya udah kasih tau kalian," sambungnya, setelah itu terdengar suara pintu yang dibanting.

Ketiga orang yang ada di meja makan saling bertatapan. Devan menunduk, memainkan serbetnya.

'Lo gak tau yang sebenarnya, Kak. Gue juga gak mau mereka pisah,'

Di kamar, Devo bersandar di pintu sambil menggigit bibir bawahnya dengan keras. Air mata yang sedari tadi ia tahan, mengalir begitu saja tanpa permisi. Ia memukulkan tangannya ke dinding di sampingnya, kemudian menjambak rambutnya sendiri dengan keras.

'Kenapa harus begini, Tuhan? Kenapa rasanya kayak gini?'

___________

Kinar mengucek matanya, kemudian melirik jam weker yang ada di nakas samping tempat tidurnya.

Pukul 07.36

Kinar langsung terduduk, "YA ALLAH GUE TELAT!!" ucapnya dengan nada panik.

Kemudian ia bangkit dari tempat tidurnya, dan mengambil ponselnya yang semalaman ia charge.

Ia melihat jam, jam di ponselnya juga menunjukkan pukul 07.36. Mata Kinar membulat ketika melihat teks kecil di atas jam ponselnya. Tertulis di sana, Sabtu, 22 April 2017.

"Lah anjir ternyata hari Sabtu," Kinar berdecak sebal, lalu kembali duduk di tepi kasurnya. Ia menempelkan jempolnya di layar ponsel, dan otomatis ponsel dengan 3D Touch Lockscreen miliknya itu langsung terbuka dengan sendirinya.

Kinar mengaktifkan data selulernya, dan tak lama setelah itu langsung banyak notifikasi masuk dari berbagai sosial medianya. Kinar memilih membuka aplikasi chat-nya, Line. Matanya membelalak ketika melihat banyak sekali Personal Chat dari teman-temannya, dan semua pesan itu bertanggalkan kemarin, 21 April.

Daddy(?) [ON HOLD]Where stories live. Discover now