Taehyung memejamkan matanya. Sepertinya ia butuh tidur sekarang. Memikirkan Jungkook yang semakin menjauh seiring pertumbuhannya membuat Taehyung lelah tanpa alasan logis. Pemuda itu hanya sedikit, uhm, tidak rela dengan adanya tembok imajiner di antara mereka berdua. Semua orang tau benar betapa Taehyung sangat menyukai detik-detik yang dilaluinya bersama sang maknae.

.
.
.

"Hyung, jangan berjinjit, dasar curang! Oh, pagi Tae hyung." Jungkook menghentikan sejenak kegiatannya mengusili Jimin dan tinggi badannya hanya untuk menyapa Taehyung yang baru saja keluar dari kamar mandi. Lantas kembali mengalihkan seluruh atensinya pada pemuda pendek yang masih sibuk berjinjit untuk meraih remot tv di tangannya, bahkan tanpa perlu repot menunggu respon dari yang disapa.

Taehyung menghela nafas, sekarang Jungkook juga tidak membutuhkannya lagi untuk bersenang-senang. Jeon Jungkook yang pemalu sudah tumbuh menjadi pemuda supel yang mudah akrab dengan siapa saja. Terselip rasa bangga, namun juga rasa asing yang begitu mengganggu. Taehyung rindu saat di mana Jungkook hanya membutuhkan uluran tangannya, hanya Taehyung, bukan yang lain.

"Tae, sudah makan?"

Taehyung berjengit ketika Seokjin tiba-tiba muncul di depan wajahnya, "Aku tidak lapar," jawabnya, dengan cengiran kotak di akhir kalimat.

"Ada masalah?" Tanya member tertua akhirnya. Astaga, mengapa hyungnya yang satu ini peka sekali, sih?

Taehyung berdengung sejenak, kemudian menggeleng keras, menyebabkan helaian lembut di puncak kepalanya ikut bergerak seiring dengan pergerakkan kepalanya. "Tidak, bukan apa-apa," jawabnya seraya melirik kericuhan yang terjadi karena Jungkook dan Jimin mulai berlarian di dalam rumah; masih memperebutkan remot tv.

Jin mengikuti arah pandang yang lebih muda, lantas terkekeh setelah menyadari apa yang terjadi. "Soal Jungkook, eh?"

Taehyung menoleh cepat. Sambil mengabaikan rasa nyeri yang menyerang lehernya akibat gerakan tiba-tiba itu, Taehyung mengerjap dengan mulut sedikit terbuka. Ah, mau berbohong sekarang juga percuma, kan?

"Uhm, aku hanya— seperti kehilangan teman bermain, itu saja." Taehyung menurut ketika lengannya ditarik ke ruang makan. Seokjin menuntun mereka untuk duduk di salah satu kursi meja makan.

"Teruskan," titah yang lebih tua setelah menemukan posisi yang lebih nyaman; siku yang menumpu pada permukaan meja, selagi telapaknya menyangga di bawah rahang.

"Kau tau 'kan, hyung, dulu Jungkook cengeng sekali." Pemuda itu terkekeh ketika otaknya memutar ulang kejadian-kejadian di asrama kecil mereka dulu. Jungkook yang akan langsung menangis ketika diminta menyanyi terus-menerus. Jungkook yang akan memilin ujung kausnya tanpa berani menatap balik ketika sedang dimarahi. Jungkook yang akan menarik tangan Taehyung ketika tangannya tidak sampai meraih benda di tempat tinggi. Dan Jungkook-Jungkook lain yang tampak begitu menggemaskan dan butuh sekali dilindungi.

Taehyung menghela nafas yang terdengar berat sekali di telinga Seokjin. "Sekarang lihat dia, sama sekali tidak membutuhkanku. Anak itu cepat sekali dewasa, otot-ototnya membuatku takut."

Seokjin mendengus. "Siapa yang kau bilang dewasa, Tae?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari dua manusia yang sekarang sedang berguling-guling di ubin ruang tamu. Masih soal remot, tentu saja. "Jungkook itu, ototnya tumbuh lebih cepat daripada akalnya. Dia hanya remaja labil yang sedang mencari jati diri. Jungkook sedang berusaha menemukan apa yang sebenarnya dia inginkan."

YoursWhere stories live. Discover now