"Gue mana ngerti gituan," kata Farah kemudian, membuat Ara menunduk dalam. Dia mengamati ponsel milik mamanya yang bergetar.

Pak Wijaya : oya, ra. Tadi saya telpon kamu yang di nomor satu, yang angkat cowok dan dia malah nanya-nanya gak jelas gitu

Pasti Elvan, pikir Ara dalam hati.

Paramita E. : Iya, pak. Itu temen saya. Kenapa pak?

Pak Wijaya : Ini saya mau bahas berita harian lagi

Paramita E. : oh iya pak

Pak Wijaya : coba kamu buat beritanya. Ada di sma negeri unggulan akademik. Tadi denger di kantor, lagi rame dibicarin. Kamu sekolah di sana kan?

Ara termenung menatap kata-kata yang tertera di layar ponsel itu. dia mengembuskan napas panjang sampai-sampai Farah menatapnya dengan cepat. Bingung.

"Lo kenapa, Ra?"

Sahabatnya itu hanya membalas dengan gelengan kepala. Jemarinya kembali bergerak mengetikkan kata-kata di atas layar.

Paramita E. : Iya, pak. Nanti malam saya kirim lewat email

Pak Wijaya : oke

"Masih nulis berita?"

Pertanyaan itu entah sudah berapa kali Ara dengar dari Farah.

"Masih."

"Emang boleh nulis berita pake nama lain?"

Namun, Ara tak mampu untuk menjawab. Dia tidak tahu bagaimana aturan seperti itu karena saat berpikir untuk mengirim tulisannya ke redaksi, dia hanya mencari tahu apa yang harus diperhatikan jika ingin menulis berita. Pak Wijaya, seorang redaktur, waktu itu menerima berita yang pertama kalinya Ara kirim. Ara juga tidak hanya menulis berita, tetapi juga cerita pendek yang selalu dimuat di beberapa koran, walaupun terkadang cerpen yang dia kirim tidak diterima saat awal-awal memulai mengirim naskah ke redaksi koran harian.

Dia juga menjadi penulis artikel lepas. Kesehariannya hanya menulis dan belajar untuk sekolah. Karena part time di kafe atau semacamnya tidak akan cukup untuknya membagi waktu. Makanya dia hanya berdiam diri di kamar, di depan sebuah laptop hasil dari yang dia dapatkan setelah lolos olimpiade ke tingkat Nasional.

Itu adalah alasan Ara untuk menyemangati hidupnya sendiri. Dengan menulis. Dia tak hanya menuangkan pikirannya lewat ketikan keyboard laptop karena dia juga menulis menggunakan pena, menulis semua kesehariannya dalam bentuk buku jurnal.

"Ra?" panggil Farah pelan. Dia melihat minuman Ara sedikit pun belum berkurang.

Ara berdiri dari bangku dan menyodorkan minuman pemberian Farah tadi kembali. "Gue ke toliet dulu, ya?"

"Gue temenin?"

"Nggak usah," jawab Ara kemudian.

***

Seorang laki-laki tersudut di tembok, melindungi kepalanya sendiri dari pukulan yang diberikan oleh Danny beberapa kali. Dia adalah siswa kelas X yang tiba-tiba saja dicari oleh Danny dan membawanya ke tempat di mana mereka sekarang berada, belakang sekolah.

"Jawab yang jujur!" seru Danny dengan penekanan di setiap katanya. Dia memukul kepala siswa itu sekali lagi. "Jujur aja geblek apa susahnya, sih? Emang minta ditabok lo berkali-kali? Hah?"

Elvan mendengus. Kepalanya menggeleng-geleng melihat tingkah Danny yang sudah beberapa kali kelewat batas. Temannya yang satu itu sangat suka membuat orang lain menderita. Berbeda dengan Tama yang nyaris tak pernah memukul orang, dia hanya seperti mengikuti apa yang biasanya Danny lakukan. Tentunya, Tama tidak akan memukul orang.

PersonaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang