Tujuh - Deal or not

96.5K 4.1K 23
                                    

Syifa kembali keruang rawat ayahnya bersama Salisa. Setelah meninggalkan Salisa dengan sebungkus makan malam. Syifa beranjak untuk bekerja seperti biasa.

Selama bekerja otak Syifa terus-menerus tidak fokus. Iya teringat percakapannya dengan salisa sore tadi saat perjalanan kerumah sakit.

***

"Kak, biaya perawatan ayah bagaimana?" tanya Salisa diboncengan motor.

"Kamu tenang aja dek, pasti ada. Kakak bakal cari pinjaman uang" jawab Syifa menenangkan

"Tapi kan kak.." ucap Salisa terpotong. Sesungguhnya ia tahu kakaknya tidak dalam keuangan yang baik. Ia tahu kalau kakaknya masih punya hutang pada pak Budi, pemilik warnet. Salisa tahu kalau keluarga ibu tidak bisa dimintai tolong. Ia tahu mereka tidak memiliki simpanan sedikit pun untuk situasi mendesak seperti ini. Bahkan uang tabungannya pun sudah terpakai untuk membayar keperluan sekolah.

"Semuanya akan baik-baik saja!" Syifa menegaskan, tidak membentak, hanya saja sedikit menekankan. Membuat Salilsa tidak ingin mengorek lebih dalam.

Salisa tahu dia tidak bisa membantu banyak. Dia hanya ingin menjadi tempat cerita kakaknya, setidaknya agar kakaknya tidak terlalu penat memikirkan semuanya sendiri. Dia sadar dia hanya bisa membantu berdoa dalam hal ini. Lebihnya dia bisa membantu menjaga ayah selama kakaknya bekerja.

***

Hari berganti minggu sejak ayahnya masuk kerumah sakit. Tagihan biaya sudah menggunung. Ayahnya sempat sadar pada hari keempat perawatannya, namun kemudian mengalami penurunan kesadaran kembali. Dokter mengatakan terjadi pecahnya pembuluh darah otak dan menyarankan untuk segera dioperasi dengan harapan 50% kesuksesan.

Operasi tentunya tidak membutuhkan biaya sedikit. Syifa tahu itu dengan pasti. Tindakan medis itu layaknya belati berlapis madu. Belati menyayat tak kenal bulu dan madu harapan sekali bisap habis. Setelah belati ditoreh hanya semakin menghilangkan lapisan madunya dan jika sampai habis maka tak bisa disalahkan lengan yang menggarapnya.

Salisa memangis dua hari dua malam. Memikirkan semua andai yang bisa dipikirkannya. Andai ia sudah bekerja mapan. Andai ia tidak sekolah. Andai ia tidak menghabiskan uang untuk biaya sekolah. Andai ia tidak selalu minta uang ayah untuk hal sepele. Andai iya bisa menjadi teman bicara ayah. Andai iya bisa mencegah ibunya pergi. Andai ia bisa. Andai keluarganya utuh dan baik-baik saja.

Syifa sendiri menyibukkan diri dengan kegiatan rutin terbatasnya. Berusaha untuk tidak tertular energi negatif yang dipancarkan Salisa. Berharap bisa membagi energi positifnya kepada adiknya itu agar ia berhenti bersedih. Salisa yang masih belum bisa menerima keadaan saat ini. Bahwa semuanya menjadi semakin buruk dan terus memburuk. Syifa berusaha menjadi contoh kakak tangguh bagi Salisa. Tapi nyatanya?

Selain energi negatif Salisa. Semua orang yang melirik kasihan pada Syifa. Pak budi, keluarga ibunya, tetangganya, dokter dan perawat, semuanya sama saja. Dia paling benci dikasihani. Dia benci orang tahu kelemahannya. Dia benci mereka yang menatap iba padanya. Disinilah kerapuhannya. Benteng pertahanan kebencian atas belas kasih. Dia berusaha membangun benteng tersebut sejak ibunya angkat kaki dari rumah mereka. Namun semakin hari, dinding itu semakin terkikis.

Dilihatnya ponselnya. Harus kepada siapa lagi ia mencari pinjaman. Harus kepada siapa lagi ia memohon bantuan. Biaya operasi bukanlah sedikit, seratus juta adalah uang yang sangat besar. tidak mungkin ia mendapat pinjaman lagi dari bosnya, pinjaman kemarin belum lunas selain itu jumlahnya yang begitu besar belum tentu bisa diberikan oleh bosnya yang hanya pengusaha warnet kecil. Dia sudah mencoba mendatangi anggota keluarga ibunya, hasilnya pun sama saja. Keluarga ibunya tidak mau memberi pinjaman justru malah mengolok-olok ayahnya dengan semua kejadian masa lalu yang belum tentu benar.

"Kasihan banget kamu Fa, tapi bude nggak bisa bantu. Sudahlah iklaskan saja ayah kamu itu mati, dia memang pantas mendapatkannya setelah apa yang dia lakukan ke ibumu dulu. Lihat sekarang kita bahkan tidak tahu ibumu ada dimana. Apa dia baik-baik saja? atau bahkan apa dia masih hidup kita tidak tahu Fa. Jadi biarkan saja laki-laki itu mati" perkataan kakak dari ibu Syifa sukses menyayat hatinya. Membuat luka yang sudah tertutup terbuka kembali dan membuat banyak luka baru. Inikah yang bernama keluarga?

Syifa tahu bahwa hubungan keluarga ibunya memanglah tidak baik apalagi setelah kepergian ibunya. Mereka terus saja melimpahkan kesalahan pada ayahnya. Dilain sisi mereka sendiri tidak tahu biduk permasalahan sebenarnya. Mereka tidak tahu bahwa selain sakit hati mereka, sakit hati yang dirasakan oleh Syifa dan Salisa jauh lebih tinggi. Seorang anak yang tidak tahu apapun harus menerima hancurnya lingkungan tumbuh mereka, hancur lingkaran kasih sayang, hancurnya lingkaran percontohan dan hancurnya sumber kebahagaian sederhananya.

Keluarga ibunya memang tidak tahu itu dan tidak mau tahu. Tidakkan ada sedikit kasih dari mereka setidaknya untuk dirinya. Kalaulah mereka tidak ingin membantu ayahnya, setidaknya membantu meringankan Syifa dari kesukaran yang dihadapinya. Bukankah Syifa masih merupakan bagian dari keluarga mereka? Masih bertali darah dengan mereka? Tapi kebencian mereka telah menjadi kabut yang membutakan akal sehat dan hati nurani mereka.

Tanpa berusaha menjelaskan satu dari banyak hal yang ada diotaknya itu Syifa memilih diam dan meninggalkan keluarga ibunya itu tanpa sepatahkatapun terucap. Syifa merasa itu percuma saja kalau kebencian itu tidak mereka redam.

Ibu, aku berharap dimanapun dirimu, kau dalam keadaan yang baik. Ayah, bertahanlah, sebentar lagi aku pasti akan mendapatkan biaya untuk operasimu. Batin Syifa. Tanpa sadar air mata mengaliri pipinya.


***


"Apakah anda yakin dengan keputusan anda tuan?" tanya Roy, Pengacara Dean, sembari menatap tuannya dengan tatapan tidak percaya. Dia baru saja mendapat penjelasan dari Dean untuk merefisi surat perjanjian konyol yang minggu lalu dibuatnya.

"Aku yakin, cepat selesaikan perjanjiannya?" sahut Dean singkat lalu kembali kekursi kebesarannya, menyibukkan diri kembali dengan berkas yang harus segera diselesaikannya.

"Kalau begitu saya pastikan, perjanjian ini siap besok pagi tuan" ucap Roy sambil membereskan barang-barangnya.

"Pergilah. Selesaikan sore ini, aku tidak ingin mengulur waktu yang untuk membuatnya berubah pikiran" jawab Dean dingin tanpa mengalihkan pandangan dari berkasnya.

"Baik tuan" jawab Roy lalu memutar tungkainya, berjalan keluar ruangan.


Dean berusaha memfokuskan diri pada pekerjaannya namun itu bukanlah hal mudah. Semua hal berkelebatan dipikirannya. Ada nyawa yang menunggunya membuat keputusan. Ada syarat yang masih belum benar diyakininya akan menjadi sesuatu yang baik. Ada mantan yang masih mengekor dan menancap seperti benalu dihatinya. Ada orang tuanya yang tidak tahu apapun.


Semoga ayah dan ibu akan menerima keputusannya dengan baik. Harap Dean dalam hatinya


***


Syifa sedang menenangkan adiknya yang menangis. Baru saja ayahnya mengalami kejang. Dokter memindahkannya keruang ICU.

Kondisi ayahnya semakin menurun. Dokter menyarankan segera diambil keputusan operasi sebelum kondisi menjadi semakin lebih buruk. Syifa tahu bahwa itu adalah harapan terakhirnya. Mengingat dananya yang tidak sedikit membuatnya harus menunggu tuhan memberi secerca rezeki melalui tangan tak terduga. Hanya itu yang bisa dia harapkan sekarang.

Setelah Salisa lebih tenang dia meninggalkannya untuk bekerja. Dia harus bekerja setidaknya untuk makan dan uang saku adiknya besok.

Rahim SewaanKu ✅ (Sudah terbit)Where stories live. Discover now