Enam - Gencatan

100K 4.4K 26
                                    

Waktu terus berlalu.

Gencatan senjata secara nyata terpampang. Walaupun tidak seutuhnya direncankan, karena sepertinya tuhan sedikit berpihak atas takdirnya. Berkomplot untuk memenangkan kelahiran seorang penerus. Ya. Calon pewaris Blue Line generasi 4.

***

"yah, berasnya habis" ucap Salisa saat melihat ayahnya baru saja pulang.

"ya, beli lah diwarung" jawab ayah yang tidak digubris Salisa sibuk memandangi layar handphone-nya. Beliau menghela nafas dan menggeleng lemah melihat gadis kecilnya itu."Kamu masih ada uang Fa?" tanya ayah pada Syifa yang duduk sambil membaca novelnya dikamar. Syifa hanya menggeleng lemah, matanya hanya menatap ayahnya sekilas dan kembali menggauli barisan tulisan dipangkuannya.

"Ini ada sedikit, ayah. belum digaji sama bos ayah untuk bulan ini" ayah mengulurkan tiga lembar uang kertas berwarna biru bergambar Ir. H. Djuanda Kartawidjaja. Syifa mengangguk saat menerimanya.

Setelah memastikan ayahnya sudah makan atau belum, syifa mengecek kebutuhan apa saja yang perlu dibeli. ia berpamitan untuk bergegas dengan motornya ke warung keontong di pojok gang.

Ya. Beginilah kehidupannya. Siapa yang punya uang dia yang memberi. Syifa bukan pelit. Tapi memang uang sakunya kini hanya cukup untuk mengakomodasinya ketempat kerja dan mengantar jemput salisa untuk satu minggu kedepan.

Setelah menunggu beberapa saat setelah menyebutkan seluruh kebutuhannya. Syifa akhirnya mendapatkan apa saja yang dia butuhkan lalu membayarnya. Ketika bersiap diatas motornya untuk pulang ponselnya berdering. Dia hafal betul ini nada telepon. Walau memang hanya dekat tapi Syifa selalu membawa Handponenya kemanapun ia pergi takut kalau ada kebutuhan penting mendesak atau apapun.

Syifa menggeset layar ponselnya dan membawanya kesebelah daun telingannya. Raut wajahnya berubah. tangannya sedikit bergetar dan hampir menjatuhkan handphone serta barang belanjaannya yang belum sempat iya gantungkan di motor metiknya. Kakinya lemas dan beruntung standar motor belum disingkirkan. Syifa memejamkan mata dan menggelengkan kepalanya ringan berusaha membuang segala pikiran negatif dan mengumpulkan kembali kesadarannya lalu bergegas pulang.

Selama perjalanan tanpa sadar air mata mengaliri pipinya. Setibanya di depan rumah sebuah dilihatnya sebuah mobil tetangganya berusaha dimasukan kehalaman rumah kontrakannya. Dia memarkir motornya dan membawa barang belanjaannya masung kemudian meletakkannya sembarang di sebelah pintu.

Syifa menghambur menuju dapur menghampiri Salisa yang menangis. Dilihatnya tetangganya membantu, sedang mengangkat ayahnya keluar dari kamar mandi dan langsung memapahnya keluar menuju mobil yang kini sudah terpakir rapi disana.

Ya. Telepon tadi dari Salisa mengatakan ayah mereka jatuh pingsan di kamar mandi.

Syifa masih berusaha menenangkan adiknya sembari mengiyakan ajakan tetangganya untuk pergi beriringan kerumah sakit terdekat. Syifa pergi dengan motornya dan adiknya menemani ayahnya dimobil itu.

Semuanya terjadi begitu cepat. Air matanya bahkan sudah tidak mengalir lagi. Tapi adiknya masih terus menangis. Sebagai kakak Syifa pastilah merasa bertanggung jawab. Merasa bahwa dia harus lebih kuat dn itu sukses menghentikan sungai yang mengaliri pipinya.

Syifa berterimakasih pada seluruh tetangganya yang suda mau repot mengantarkan mereka. Kini hanya tersisa dirinya dan Salisa serta sang ayah yang masih belum sadarkan diri.

Dokter mengatakan darah tinggi ayahnya kambuh dan malam ini akan menjadi malam yang sangat berat untuk ayahnya karena ada kemungkinan pecahnya pembuluh darah di otak. Dokter masih menunggu hasil rontgen untuk memastikannya. Sementara ayah dirawat di HCU (High Care Unit) untuk pengawasan.

Salisa menolak pulang meskipun meskipun Syifa memaksanya karenabesok dia harus sekolah. Akhirnya Syifa membiarkannya dengan syarat Salisa pulang besok subuh dan tetap kesekolah.

Syifa melihat Salisa yang tertidur dikursi sambil bersandar pada brangkar ayahnya. Dia sendiri masih belum bisa tidur dan memutuskan untuk berjalan keluar sedikit mencari udara untuk menyegarkan kepalanya yang sangat penat.

Setelah berjalan cukup jauh dari ruangan ayahnya dia berhenti dilorong sepi dekat taman belakang rumah sakit. Terdapat kolam ikan yang memiliki air mancur mungil ditengahnya. Gemercik air mengundang syifa untuk berlama-lama. Dia duduk di kursi yang ada ditepi lorong . Dia didik memandang kolam yang memantulkan cahanya rembulan.

Syifa merasakan getaran di saku celananya. Dipandanginya notifikasi yang muncul. ternyata hanya spam broadcast message. Dibukanya pesan tersebut tanpa benar-benar dibaca. pikirannya sedang berkabut. Dari mana dia akan mendapatkan pinjaman untuk biaya rumah sakit. Jika harus meminjam bosnya, hutangnya kemarin untuk bayar kuliah saja belum lunas. Saudara? ayahnya anak tunggal jadi tidak mungkin. Kalau pinjam pada saudara ibunya itu jauh lebih mustahil mengingat mereka mengira ayahlah yang menyebabkan ibuku minggal dari rumah tanpa mengabari mereka. Semua itu berkelebatan diotaknya.

Tangannya hanya mengeser ponselnya acak tanpa perhatian dan terpampanglah puluhan pesan yang selama ini diabaikannya tanpa pernah ia baca. Pesan dari Dean.

***

Ayahnya masih belum sadar pagi ini. Setelah berpamitan kepada perawat dan meminta mereka mengabari jika ada sesuatu yang terjadi syifa mengantar adiknya pulang dan mengantarkannya kesekolah.

Sebelum kembali kerumah sakit memutuskan untuk pulang terlebih dahulu membereskan rumah. Mengambil beberapa baju ayahnya jika nanti diperlukan. Syifa juga mengambil baju gantinya dan Salisa karena nanti sepulang sekolah di ingin langsung ke rumah sakit.

Syifa membuka tasnya dan menemukan amplop coklat itu. amplop yang berisi perjanjian yang telah disiapkan Dean. Sudah 20 hari amplop itu masih tersimpan rapi ditasnya dan belum dibacanya. padahal setiap hari pria itu selalu mengiriminya pesan setiap hari. Tak hanya itu, dia selalu mengirim kurir makanan setiap kali Syifa di warnet.

Syifa mengambil amplop itu hendak membakarnya dan mengirimkan foto abunya pada Dean agar dia berhenti menerornya. Walaupun kotak makanan sangat menguntungkan jika dipikir untuk menghemat uang makannya.

Syifa bejalan ke halaman dan menyambar korek ayahnya diatas meja ruang tamu. Dibukanya amplop tersebut dan dibaca sekilas setiap lembarnya. Matanya membulat lebar saat menangkap nominal angka yang tertera disana. Lima miliyar. Syifa dengan susah payah menelan salifa yang seperti bakso belum dikunyah karena terkejut dengan nominal yang ditawarkan.

Setan dan malaikat seperti sedang beradu pendapat diotakanya.

Itu cukup untukmu kuliah, membuka usaha, biaya kuliah salisa, membayar hutang dan yang terpenting biaya rumah sakit ayahmu. The Devil

Tapi kau sama saja menjual anakmu, darah dagingmu sendiri. kau akan menjual sebuah nyawa. apakah itu baik dimata tuhanmu?. The Angle

Yang terpenting sekarang kesembuhan ayahmu dan bagaimana kalau ayahmu stroke dan tidak bisa bekerja lagi. Siapa yang akan membantuu menghidupi keluargamu kelak. Bagaimana kuliahmu. bagaimana kuliah adikmu?. The Devil

Tapi bagaimana pendapat tetangga jika menetahuimu hamil? Bagaimana jika dunia tahu kau hamil? tanpa menikah? Dan menjual anakmu? Dosa besar! Kau bahkan masih perawan. The Angle

Syifa memejamkan mata dan menggeleng. Kebiasaannya untuk mengusir pikiran yang beradu dikepalanya. Tangannya memasukkan kembali lembaran kertas itu kedalam amplop coklat. Diurungkan niatnya dan dibawanya kembali masuk kedalam. Dia mengambil ponselnya dan menelpon Dean.

****
Maaf baru update.
Jadi gimana pembaca yang budiman?
Lanjut gk ya ini?

Rahim SewaanKu ✅ (Sudah terbit)Where stories live. Discover now