Hujan menangis. Lagi. Dalam hati ia merutuki bagaimana gadis didepannya ini bisa sangat mudah meruntuhkan benteng yang ia bangun selama hidupnya. Semua pertahanannya seakan tidak ada artinya di depan seorang Lilyana. Topengnya yang ia bentuk dengan sempurna selama ini pun rasanya terlalu rapuh di depan gadis yang baru ia kenal beberapa bulan belakangan.

“... Hari ini aku yakin sekali bisa menemui Ibu. Tapi, keadaan beliau semakin buruk saat kutemui.” Hujan membalas pelukan Lily lebih erat. “Apa pengaruhku untuk Ibu seburuk itu? Semua ini terjadi gara-gara─”

“Hentikan omong kosong ini!” Lily melepaskan pelukan itu untuk melihat sorot mata Hujan yang menyedihkan sekaligus menyakitkan baginya. “Ini bukan salahmu, Kak Hujan.”

Lily tertawa miris. Haruskah ia buka-bukaan tentang masa lalunya sekarang? Siapkah ia membagi hal itu kepada orang lain selain Miranda? Akankah cara ini berhasil? Banyak pertanyaan yang berputar di dalam kepala bersurai coklat itu.

“Entah Kak Hujan sudah tahu atau belum, ingin mendengarkannya atau tidak, tapi Lily akan tetap menceritakannya.” Lily menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. “Bunda meninggal karena bunuh diri beberapa tahun lalu karena stress mengetahui Ayah bermain dibelakangnya. Lily merasa sangat gagal karena tidak bisa menahan Bunda untuk tetap tinggal. Rasanya benar-benar menyakitkan sampai menusuk ke tulang. Sakit sekali.”

Rion membatu melihat Lily yang membuka hal paling menyakitkan dalam kisah keluarga mereka. Rion sangat tahu Lily adalah orang yang paling menghindari topik tersebut. Tapi, sekarang ia melihat adiknya membahas itu pada seseorang. Terlihat lebih kuat dari sebelumnya.

Hujan tahu tentang itu. Diam-diam ia tahu banyak tentang gadis didepannya. Tapi, rasanya berbeda ketika ia mendengar langsung dari bibir Lily. Ia merasa … dipercaya. Sangat dipercaya. Mengembalikan harapan yang sempat hilang karena keadaan Ibunya yang memburuk. Kembali meyakinkan Hujan jika Lily memang harapannya untuk menjalani hidup.

“Tetaplah hidup, Kak Hujan.” Lily menangis dengan kedua mata menatap dalam bola mata milik Hujan. Kedua tangan mungilnya meraih kedua tangan besar Hujan, menggenggam erat untuk berbagi kekuatan. “Jangan menyerah. Kak Hujan orang yang kuat. Lily percaya itu.”

“... Terima kasih,” gumam Hujan tersenyum kecil. “Kau menyelamatkanku sekali lagi.” Hujan mengusap kepala Lily dan memeluk gadis itu lagi. Lebih erat dan hangat.

“Lily hanya tidak ingin orang lain merasakan perasaan buruk seperti saat itu.” Lily menyandarkan kepalanya di dada bidang Hujan. Senyum sendu terukir di wajah manisnya. “Terlebih Kak Hujan. Lily tidak mau Kak Hujan merasakannya.”

“Kau gadis yang baik, ya.” Hujan tertawa kecil.

“T-tidak juga!” Lily menyembunyikan wajahnya yang merona di dalam dada Hujan.

Rion memperhatikan dua orang didepannya itu dengan senyuman. Ada perasaan lega melihat adiknya berubah menjadi pribadi yang lebih baik dan kuat. Mampu menjadi topangan orang lain bahkan. Rion menyenderkan punggungnya pada pohon dibelakangnya, menatap bulan sabit yang seakan ikut tersenyum pada mereka hari ini.

“Bunda, sekarang Lily tumbuh menjadi gadis yang kuat. Ia bahkan mampu menopang beban orang lain.” Rion bergumam lirih menatap langit malam. “Jangan khawatirkan kami disini. Kami baik-baik saja. Kalaupun tidak, kami akan menjalaninya dan berada di titik … kita akan tersenyum tanpa memikirkan apa yang terjadi kemarin.”

Senyuman terukir di ketiga wajah itu. Dihadapan bulan sabit, mereka berharap hari yang lebih baik lagi esok pagi. Mencari jalan keluar atas kebingungan mereka masing-masing.

***

Anggi berlari menyusuri lorong rumah sakit dengan wajah pucat. Tak ia pedulikan orang-orang yang tak sengaja ia tabrak. Hingga ia berada di depan sebuah pintu ruangan yang selama ini sering ia kunjungi. Tanpa ragu ia membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan dimana seorang lelaki bernama Kala terbaring lemah ditemani oleh wanita paruh baya yang cantik, ibunya Kala.

PainHealerWhere stories live. Discover now