Della berjalan lebih dulu. Duduk di atas tangga di koridor itu, sedikit berada di pinggir untuk memberi jalan pada siapa pun yang nantinya akan lewat. Sedangkan Ara masih berdiri di tempatnya tadi dengan pikiran yang penuh oleh bayang-bayang perkataan rata-rata siswi di sekolahnya yang membeberkan sisi buruk Della yang mereka tahu. Apa pun itu, Ara masih belum yakin selama belum ada bukti.

Dengan perasaan canggung, perempuan itu melangkahkan kedua kakinya menuju tangga yang Della tunjuk tadi. Dia duduk di samping Della. Mengobrolkan apa-apa saja yang sempat Bu Zarah katakan saat mereka masing-masing bertemu dengan guru mata pelajaran Matematika itu.

Perbincangan mereka berlangsung selama hampir 30 menit. Hanya membahas seputar Sains yang mereka kuasai. Dari situ juga, Ara makin tahu bagaimana cerdasnya Della yang menguasai semua mata pelajaran Sains dibanding dirinya yang hanya menguasai satu bidang, sedangkan yang lainnya hanya sebagian kecil.

"Masih lama. Beberapa bulan lagi, 'kan? Kita punya banyak waktu buat jadi partner buat lomba nanti. Lagian, lombanya di semester ganjil kelas duabelas."

Ara tersenyum. "Gue usahain."

Della merapikan kertas yang ada di pangkuannya. Sejak tadi, perempuan itu gelisah memikirkan sesuatu. Kemudian Della menatap Ara yang bersiap berdiri. "Hei." Ara menoleh untuk menatap Della. "Lo udah tahu gue, kan?"

"Tahu...," jawab Ara lambat. Masih memikirkan maksud dari pertanyaan yang Della lontarkan padanya.

"Maksud gue, dari apa yang orang lain bilang tentang gue. Sisi buruk kehidupan gue."

Ara terdiam cukup lama dan dalam keterdiamannya itu dia kembali mengingat percakapannya dengan Farah yang terjadi beberapa saat sebelum dia bertemu dengan Della. "Maksudnya?"

"Nggak. Gue cuma pengin bilang kalau gosip anak-anak yang mungkin lo denger juga, itu semua bener kok." Della berdiri. Sebelum perempuan itu kembali melangkah, Ara ikut berdiri dan mengikuti Della dari belakang. "Maaf, lo bakalan jadi partner orang yang arah hidupnya salah."

"Del...."

Della berhenti melangkah. "Suatu saat gue bakalan cerita. Tapi, enggak sekarang."

Mata Ara menyipit. "Kenapa lo mau cerita ke gue? Sedangkan kita baru aja kenal."

"Gue bakalan cerita ke siapa aja yang gue mau. Termasuk elo. Supaya orang-orang yang kenal gue, gue harap bisa ngerti tentang siapa gue."

Ara meneguk ludah. Berbagai pertanyaan muncul dalam benaknya secara tiba-tiba. "Lo beneran anaknya professor Askari?"

"Ya," balas Della cepat, tanpa mau memperpanjang percakapan. "Gue duluan, ya?"

Beberapa saat setelah Della membalas perkataan Ara, perempuan itu langsung pergi meninggalkan Ara yang masih berdiri di tempatnya, memandangi Della yang terus berjalan menuju gerbang utama SMA Negeri Unggulan Akademi.

Kali ini, atas apa yang dia lihat, dia tertegun lama. Sebuah mobil yang juga pernah ia tumpangi berhenti di dekat Della berdiri.

Farah yang baru saja tiba di dekat Ara ikut memandangi apa yang sahabatnya itu lihat. Farah tak kaget dengan itu karena dia sudah pernah melihat pemandangan itu sebelumnya.

"Banyak yang bilang mereka pacaran," kata Farah, memecah keheningan di antara dirinya dan Ara. "Banyak juga yang bilang kalau mereka cuma sebatas partner doang. Gue nggak perlu jelasin. Kayaknya lo baru tahu," lanjutnya sambil menggoyangkan jari telunjuk dan jari tengah di kedua tangannya ketika mengucap kata partner.

Ara melangkah maju dan Farah mengikut dengan spontan. "Jangan negative thinking mulu, deh."

"Kayaknya gue cuma satu-satnya yang tahu kalau lo dan Elvan pernah pacaran waktu kelas sepuluh," kata Farah dan Ara membenarkan dengan anggukan. Dua siswi berseragam SMA itu berhenti di depan gerbang yang sudah lumayan sepi dari siswi-siswi yang menunggu jemputan. Farah menatap Ara dengan serius. "Lo ... udah nggak sayang beneran sama Elvan?"

Mendengar pertanyaan itu, Ara hanya mengangkat kedua bahunya. "Gue pacaran sama dia pas masa-masa labilnya gue."

Farah tertawa. "Ya tapi, tetep aja lo mantannya Elvan. Sayangnya sih, nggak ada yang tahu itu kayaknya."

Ara mengeratkan pelukannya pada buku-buku paket itu. Dalam hati, sejak tadi dia terus bertanya-tanya mengenai perkataan Della juga bertanya-tanya dalam hati tentang pertemuan Elvan dan Della yang dia lihat langsung beberapa waktu yang lalu.

Ara mengembuskan napas panjang. Harusnya, atas apa yang terpikir di benaknya sekarang ini, dia tak perlu ikut-ikutan berfikiran negatif mengenai pertemuan antara Della dan Elvan yang dia lihat beberapa waktu yang lalu.

***

"Mau ke hotel bareng Della lagi?"

Elvan mengumpat setelah mendengar pertanyaan yang Tama lontarkan di seberang sana. Elvan hanya diam. Tak membalas karena dengan begitu, Tama akan tahu betul apa jawabannya.

"Ya udah, gue matiin," kata Tama kemudian bunyi sambungan terputus yang terdengar dari speaker telepon genggam milik Elvan. Laki-laki itu menghentikan mobilnya ketika sudah berada di dekat Della berdiri. Dia tak membuka kaca jendela mobil, tak perlu mengajak Della masuk karena perempuan itu sudah tahu kebiasaan yang Elvan lakukan selama sudah beberapa bulan ini mereka dekat.

Sambil menunggu Della masuk, tak sengaja Elvan menatap dua siswi yang ada di koridor. Dia memandangnya lewat kaca jendela yang tertutup rapat. Satu di antara dua siswi itu sekarang menjadi objek pandangan Elvan. Laki-laki itu menghela napas kemudian beralih menatap ke depan bersamaan dengan masuknya Della ke dalam mobil.

"Kita nggak mungkin ke hotel dengan seragam begini."

Jika Elvan sudah mengatakan hal itu, maka Della akan paham betul maksudnya. Della menoleh ke Elvan. "Ya udah."

Saat itu juga, Elvan kembali menjalankan mobilnya ke suatu tempat yang sudah sering dia kunjungi.

***


thanks for reading!

love,

sirhayani

PersonaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang