32. Obrolan Waw

18.4K 1.6K 149
                                    

"Ashel tadi..."

"Mama!" potong Ashel sebelum Fariz memberi penjelasan sembari meloloskan diri dari Fariz dan mencari perlindungan pada Fatma. Ia berdiri di sisi Fatma dengan manja, seakan-akan Fatma adalah Ibu kandungnya.

Fariz menatap Ashel geram. Ia hanya bisa setengah berbaring di ranjang tanpa bisa melakukan apapun.

"Udah, nggak pa-pa." Fatma mengelus lengan Ashel sekali usap. "Ada apa kok kamu tadi teriak-teriak begitu? Mama sampai kaget dengernya lhoo.."

"Mm... Anu... Itu..." Ashel bingung harus menjelaskan dari mana.

"Anu anu apa?"

"Kayaknya Mas Fariz terobsesi omongan Mama tadi, deh. Mas Fariz mau gituin aku, Ma. Ya akunya nggak mau, lha wong lagi dapet bulanan."

Fariz melotot dibarengi dengan ekspresi lebay Fatma yang tak kalah terkejut.

Ashel gigit bibir selepas mengucapkan jawaban dengan kebohongan maha dahsyat. Sukses membuat Fariz membisu.

"Fariiiiiiiz...!" Fatma mendekati Fariz dan melakukan aksi tarik anak rambut yang tumbuh di depan telinga Fariz seperti yang selalu ia lakukan pada suaminya. "Mama memang kepingin cucu dari kamu, tapi bukan berarti trus terburu-buru begitu, nggak harus malam ini juga kamu bikin kalau memang istrimu lagi datang bulan. Dosa, Fariz!"

Fariz meringis-ringis merasakan tarikan itu, anak rambutnya serasa akan jebol dan pedih sekali. Ia mengaduh sambil menatap ke arah Ashel yang kini justru tergelak.

"Iya, Ma. Lanjut, Ma. Yang kiri sekalian!" Ashel mengompori.

Fatma menuruti kemauan Ashel dengan menarik anak rambut sebelah kiri hingga wajah putih Fariz memerah.

"Ampun, Ma. Iya, iya aku salah. Jangan dicabut nyawa anakmu!"

Fatma melepas tangannya. "Ya sudah, jangan diulangi. Ashel, kamu tidur sama Biya saja sana!"

Ashel menggeleng.

"Loh, kenapa? Nanti kalau kamu tidur di sini, kamu diserang lagi sama lonceng tak berbunyi."

Suer, mama yang satu itu memang benar-benar ember dan nyablak. Ashel jadi ingin tertawa terus.

"Ashel bisa jaga diri. Percaya deh, Mas Fariz patuh sama Mama. Kalau udah dihukum kayak tadi, pasti dia bakalan takut."

"Kamu yakin?" Fatma menekankan kalimat itu.

"Iya, Ma."

"Ya sudah, Mama tinggal. Kalau ada apa-apa kamu teriak saja yang kenceng, Mama pasti denger, kok." Fatma menoleh kepada Fariz yang terlihat sedang mengusap-usap anak rambut dekat kuping. "Fariz, jangan paksa istrimu. Awas kalau kamu macem-macem."

Fariz mengangguk patuh.

Ashel menatap Fariz sepeninggalan Fatma. Ashel berjalan mundur saat melihat Fariz turun dari ranjang dengan sorot mengancam.

"Kalau kamu macem-macem, aku teriak lagi, nih," ancam Ashel dan berhasil membuat Fariz berdiri diam di tempat.

"Tidur, gih!" titahnya menunjuk kasur dengan dagu.

"Enggak mau. Nanti kamu selentik aku lagi."

"Enggak. Tidur sana!"

Perintah Fariz bernada tegas membuat Ashel menurut dan berbaring di kasur dengan tubuh diselimuti bed cover sampai ke dada.

"Tidur!" titah Fariz melihat mata Ashel yang masih terbuka lebar.

Ashel langsung menutup matanya. Dan ia mengintip dengan membuka sedikit kelopak matanya saat kasur di sebelahnya terasa terayun-ayun. Ternyata Fariz sedang berbaring dan pria itu terpejam dengan kedua telapak tangan menjadi alas kepala di atas bantal.

***

Hampir dua jam Ashel berjibaku di dapur, memasak sop.  Kata Fatma, Fariz sangat menyukai sop tunjang.  Dan Ashel rela bertukar pikiran dengan Bi Sari selama kurang lebih dua jam untuk menyempurnakan hasil masakannya.  Dan hasilnya, taraaaa...... aromanya saja sudah menggugah selera.  Ashel sudah terbiasa memasak, tentu rasanya tidak perlu diragukan lagi.

Ashel mengusap keringat di pelipis dengan punggung tangan seraya meletakkan semangkuk besar sop ke meja makan.  Begitu amat perjuangan demi menyenangkan hati suami, keringatan dan lelahnya menakjubkan.  Tidak masalah bagi Ashel, karena lelah tersebut akan terbayarkan dengan cinta.  Haduh Ashel jadi alay.

“Ehem ehm...”

Suara deheman membuat Ashel menoleh ke sumber suara.

“Sukurlah udah mulai tau tugas.”  Sabiya menatap sop yang baru saja Ashel letakkan.  “Udah ini langsung beres-beres rumah.”

Sabar.  Sabar, Shel.  Hati kecil Ashel berusaha menyabarkan diri.

“Sabiya, aku adalah istri dari Kakakmu, artinya aku kakak iparmu. Aku bukan seperti yang kamu pikirkan,” jelas Ashel dengan nada bijak.

Sabiya tersenyum mencemooh sembari melempar tas sekolahnya ke kursi.  “Tau diri, dong!  Lu pikir semua orang di sini menerima elu dengan seneng?  Ngaca!  Lo itu siapa!”

“Sebenarnya apa yang membuatmu nggak menyukaiku, Biya?  Apa aku punya salah sama kamu?”

“Jelas.  Lo muncul di keluarga ini aja udah salah.”

Gigi Ashel mulai menggemeletuk.  Untung saja Sabiya adalah adiknya Fariz, jika orang lain pasti sudah Ashel ketuk hidungnya pakai gayung.  Ya ampun, geram sekali Ashel kini.

“Mau tau kenapa gue nggak suka sama lo?  Karena lo dan Kak Fariz nggak sederajat!”

“Sabiya, aku sadar siapa aku yang sebenarnya.  Aku tahu diri, aku bukan berasal dari kalangan orang berada.  Tapi yang menyatukan aku dengan Fariz adalah Allah.  Bukan salahku sekarang aku ada di sini.  Kamu nggak perlu menyalahkanku.”

“Nggak usah ceramah!  Yang jelas gue nggak suka sama lo.  Gue pengennya punya kakak ipar yang terhormat, terkenal dan cantik kayak Kak Ayesha.  Kami tentunya sederajat.  Nggak kayak lo.  Lo lihat tas ini?”  Sabiya kembali mengambil tasnya dan memperlihatkan tas sekolah itu ke Ashel.  “Ini tentunya tas mahal, Kak Ayesha yang beliin.  Apa lo bisa beliin barang-barang elit buat gue?  Enggak, kan?”  Sabiya menumpahkan sop yang tadi Ashel letakkan ke meja hingga kuahnya berlinangan di meja dan mengucur bebas ke lantai.

“Sabiya!” pekik Ashel setelah sejak tadi mencoba bersabar.  Ashel kesal bukan main. 

Tepat saat itu Ashel menoleh ke pintu, dimana Fariz tampak berdiri memperhatikan kejadian barusan.

“Ada apa ini?” tanya Fariz sambil berjalan mendekati meja makan.  “Sabiya, kok ditumpahin?”

Sabiya diam saja dengan sorot mata mengarah kepada Ashel yang balas menatap dengan tatapan sama tajamnya.

“Adikmu bilang nggak menyukaiku dan dia menumpahkan sop yang baru aja aku masak,” sela Ashel dengan gamblang tanpa ia tutup-tutupi.

Fariz menarik kursi dan duduk di sana.  Ia berteriak memanggil Bi Sari dan memerintah wanita itu suaya membersihkan meja.

“Adikmu juga bilang kalau aku nggak pantas menikah denganmu,” lanjut Ashel berharap reaksi dari suaminya.

Tapi tidak seperti yang diharapkan, Fariz tampak begitu rileks, menanggapi masalah itu dengan santai. 

“Udah, nggak usah dibahas.  Sabiya, sana pergi tukar seragam sekolahmu.  Shel, ayo kita makan.  Ini udah lewat tengah hari.”  Fariz mengambil piring dan menyiduk nasi.

Sabiya memalingkan wajah dan melengos pergi.

Bersambung

Maaf pendek. Maklum up cepet soalnya.

Spam komen buanyak iah biar ngebut dan semangat.

MY BOSS IS MY LOVE (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang