Jamie memperhatikan ku lekat-lekat dengan kedua orbs biru favoritku yang terlihat kelabu karena kamar kami yang sedikit gelap.

"Kalau kita lolos dari sini, kau mau janji untukku kalau kau akan hidup dengan cara yang baik?" tanyaku, mengusap lembut wajahnya dengan ibu jariku, " Lakukan apapun untuk bertahan hidup asalkan yang baik, kau mau janji?"

Dia terdiam sebentar sebelum ahirnya mengangguk di bawah usapan tanganku, "Aku janji."

Ku sandarkan kepalaku semakin lekat ke tangannya. Tidak masalah walaupun tangannya kasar aku tetap menikmatinya.

"Aku sayang padamu." Bisiknya, membuatku kembali membuka mata untuk memandang raut serius pada wajahnya.

"Aku juga sayang padamu. Terlalu sayang hingga aku takut kau menghilang." Suaraku selalu bergetar tiap kali membayangkan hal itu.

"Tidak ada yang perlu ditakutkan." Katanya. Keyakinan dalam suaranya menular hingga memberiku sedikit rasa tenang dan akhirnya bisa memanggil tidur. Dalam usapan tangannya yang lembut di rambutku dan pelukannya yang hangat. Yang bahkan mampu menjauhkanku mimpi buruk ayah Jamie yang belakangan ini sering ku alami.

***

Jamie membangunkanku bahkan ketika hari masih belum terang, dan memintaku untuk segera bersiap-siap. Rasa kantuk itu lenyap sekalipun aku hanya beristirahat kurang dari empat jam malam itu, begitu melihat ekspresi serius Jamie di hadapanku.

Aku bergegas mencuci muka dan menggosok gigi. Lalu menggendong Shawn yang masih tidur. Ku letakkan anakku ke atas kursinya sebelum menutupinya dengan banyak selimut hangat agar dia tidak kedinginan.

Begitu aku turun ke lantai bawah, Jamie sudah sibuk memasukkan tas pakaian yang dia persiapkan tadi malam ke dalam truknya. Tidak banyak, tapi cukup. Uang dan segala keperluan lain pun sudah dipersiapkan oleh Jamie.

Semuanya akan kami tinggal di tempat ini, Truk, rumah, bahkan repair shop yang mereka berikan pada Jamie. Tidak masalah memulai dari awal, asal kami terus bersama.

Aku sudah selesai menyiapkan Shawn untuk dibawa masuk ke dalam mobil, begitu tiba-tiba sebuah mobil berhenti cukup jauh dari rumah kami.

"Jamie..." panggilku pelan kepadanya yang masih sibuk di dalam rumah, membawa tas yang tersisa.

"Kenapa?"

"Ada yang datang." Kataku tanpa putus melihat ke arah mobil Range Rover merah gelap tersebut. Kepalaku menoleh ke arah Jamie yang tidak mengatakan apapun, dan mulai was-was begitu melihat keningnya yang berkerut begitu memandang mobil itu.

Mobil itu mengelakson sekali, seolah orang yang duduk di balik kemudi itu memanggil kami untuk mendekat. Ku pandang Jamie sekali lagi, beringsut mendekat ke sisi tubuhnya. Memegangi lengannya, "Jangan kesana."

Orang itu menekan pedal gasnya, hingga membuat mesinnya meraung.

"Tidak apa-apa Nora. Aku akan datangi dia, mungkin itu hanya orang-orang repair shop." Katanya, memberiku senyum untuk menenangkanku. Tapi aku masih tidak yakin kalau itu adalah orang-orang tanpa niat tersembunyi.

"Tunggulah di dalam sebentar, setelah itu kita pergi." Bisiknya, mencoba melepaskan genggaman tanganku di lengannya dan mencium buku-buku jariku yang memutih.

Ketika dia melepaskannya, perasaanku mulai tidak enak namun dengan langkah perlahan aku mengikut permintaannya dan menunggu di dapur, di depan jendela dekat westafel yang bisa ku gunakan untuk memantau dan melihat mobil di depan rumah kami itu.

Jamie berdiri di samping mobil dan mengetuk jendelanya. Tiba-tiba seseorang dari dalam terlihat membuka pintunya tapi tidak cukup lebar hingga aku bisa melihat siapa atau ada berapa orang d dalam sana. Jamie memiringkan kepalanya untuk melihat ke dalam, aku tidak bisa melihat wajah Jamie begitu dia melihat ke dalam mobil, entah apa yang dia rasakan hingga membuatnya merasa aman untuk ke dalam sana. Pintu mobil itu kemudian tertutup tapi tidak melaju. Aku menunggu dengan gelisah, tanpa mampu mengalihkan pandanganku. Tidak ada gambaran hal apa yan sedang terjadi di dalam sana karena kaca mobil mereka yang hitam. Hal tersebut makin membuatku panik.

Chasing MemoriesWhere stories live. Discover now