Recza tahu, di balik perkataan Arai waktu itu, Arai pasti menaruh perasaan yang sama pada Adiska. Sama seperti dirinya. Jauh di lubuk hatinya, Recza sudah lama menunggu saat-saat ini. Akan tetapi, rasanya salah kalau ia mengabaikan Arai. Bagaimanapun, hubungannya dengan Arai sekarang sudah membaik, tapi Recza tidak ingin hanya karena soal perasaan, ia kembali bermusuhan dengan Singa Bakti Nusa itu.

          "Gue emang sayang sama lo, Dis. Tapi soal Arai, menurut gue-gue pikir kalo kita...." Ada jeda saat Recza menggigit bibirnya perlahan.

          "Gue ngerti," angguk Adiska. "Sebenernya, gue tadi itu mau ngomongin soal yang sama kayak lo."

          Recza mengerjapkan matanya, sementara Adiska menatap mata cowok berambut acak-acakan di sebelahnya itu. Sesekali gadis itu menunduk, memikirkan kata-kata apa yang akan ia lontarkan selanjutnya.

          "Gue sayang sama lo, Za, tapi lo bener. Gue pikir, rasanya ada yang janggal kalau gue jadian sama lo." Adiska tahu perasaannya terhadap Recza memang sudah lama muncul entah sejak kapan. Akan tetapi ada hal lain yang ia pikirkan. Araidhika Respati.

          "Gue ngerti kalo lo bakal marah," lanjut Adiska lagi. "Tapi ada hal lain bagi gue yang jauh lebih penting. Dan gue baru sadar akan hal itu saat gue di Festival Coklat kemarin."

           Recza langsung mendongak. Alisnya bertautan, menyimak setiap kata yang Adiska utarakan.

           Sementara itu, dalam benaknya, Adiska memang menyukai Recza tapi ada perasaan dimana ia merasa bersalah kalau ia memiliki perasaan itu padanya. Arai pasti nggak akan tinggal diam.

          "Gue pikir, lebih baik kita kayak gini, meskipun saling suka. Jujur, Za, gue sempat terbesit untuk jadian sama lo. Cuma, gue gak yakin. Gue gak tau apa istilahnya, tapi kita bisa jadi lebih dari sahabat cuma ya, bukan pacaran," jeda Adiska sembari membasahi bibirnya yang terasa kering. "Bukan berarti gue gak sayang sama lo atau ngejauh dari lo, tapi gue cuma gak mau antara lo sama Arai kenapa-napa karena gue."

          Ada keheningan yang menghampiri mereka berdua sejenak. Kedua pasang mata tengah menatap satu sama lain. Hanya dengan tatapan mata, baik Adiska maupun Recza sama-sama mengerti.

          Di satu sisi, Adiska merasa ia menyukai Recza. Namun, semuanya terasa salah kalau ia jadian dengan cowok itu. Sementara bagi Recza, jelas ia menyukai Adiska. Hanya saja, cowok itu tidak ingin hanya karena perasaan sayangnya itu, ia mengorbankan persaudaraannya dengan Arai yang baru saja membaik.

          Semenjak percakapannya dengan Arai di festival kemarin, Recza merasa bersalah terhadap apa yang sudah dilalui oleh Arai. Sudah cukup bagi Recza kalau Arai terus mengalami rasa kehilangan seperti dulu.

          "Dengan gue tau perasaan lo kalau lo juga punya perasaan yang sama kayak gue, gue udah lebih dari seneng, kok, Dis," angguk Recza, memegang salah satu tangan Adiska yang berada di atas bangku. "Gue sayang sama lo, tapi gue gak akan nuntut kalo nanti kita mesti jadian atau enggak. Itu balik lagi ke masalah waktu.

          "Gue juga sebenernya ngerasa bersalah. Karena, menurut gue seharusnya lo ngomongin perasaan lo ke Arai bukan ke gue. Sorry, Dis, bukannya gue gak sayang sama lo, gue cuma gak mau kalau gue sama Arai musuhan lagi. Udah cukup buat gue kejadian yang kemarin itu. Udah cukup buat gue, punya masalah yang pelik sama Arai.

          "Lagian itu juga hak lo buat bikin keputusan. Walaupun kayak gitu, Dis, kapanpun gue bakal berusaha buat nolongin lo. Di saat lo minta bantuan, gue pasti bakal ada buat lo." Kini tangan Recza menggenggam erat tangan Adiska.

           Adiska yang awalnya menaruh tatapannya pada wajah Recza, kini mengarah pada tangannya yang masih digenggam oleh cowok itu. Lagi-lagi Adiska mengukirkan senyuman lebarnya.

CounterpartWhere stories live. Discover now