20th trouble

15.5K 1.5K 192
                                    

D U A - P U L U H

         Recza melangkahkan kakinya memasuki koridor kelas 10. Kedua matanya terpaku pada sesosok gadis yang tengah berdiri dan berbincang bersama Debby.

          Entah kebetulan atau apa, kedua mata gadis itu tak sengaja bertemu tatap dengan mata Recza. Adiska memandang Recza cukup lama. Sementara Recza hanya membalas tatapan gadis itu sekilas.

          Recza tahu, sudah hari kedua ia tidak saling kontak ataupun sekadar menyapa Adiska.

          Begitupula Adiska yang juga tidak pernah menghampiri cowok itu, meskipun berbincang-bincang dengan topik random sekalipun atau hanya ocehan hingga tawa tak pernah terlihat untuk dirinya.

          Mungkin, kerenggangan akan semakin melebar. Bahkan hanya untuk menyapa pun sangat kelu di lidahnya ketika tahu bahwa Adiska mungkin masih marah padanya.

          "Za, lo nanti sore mau caw bareng kita, gak?" Zidan datang menghampiri Recza yang baru saja melepaskan salah satu earphone-nya. "Gue, Ilham sama Zaky mau ke UScream soalnya."

          "Sorry, gue gak bisa. Gue mau latihan buat Glory Cup nanti," ujar Recza, menaruh tas ransel coklatnya di atas meja lalu duduk—mencari lagu di playlist-nya.

          Ilham duduk di atas meja Recza. "Lho, ini kan hari Kamis, Za. Bukannya lo biasanya latihan hari Senin, Rabu, Jumat?"

          "Enggak, ini latihan tambahan," jawab Recza asal.

          Sebenarnya, ia mengatakan hal itu karena akhir-akhir ini perasaannya selalu kalut. Tak heran, cowok itu lebih melampiaskan kekalutannya dengan bermain bola hanya dirinya seorang—contohnya, latihan untuk sore nanti.

          "Lo kenapa, sih?" tanya Zidan, agak meninggikan suaranya. "Perasaan, lo jadi jarang gabung bareng kita-kita."

          "Ck, ah, lo. Cowok apa cewek, sih? Mainannya perasaan mulu." Recza mendongak menatap Zidan yang berdiri di sampingnya. "Gue Cuma pengen sendiri aja. Lo semuanya kalau mau main, main aja sono. Gue gak pengen ikut."

          "Lo kayak gak kenal gue aja, Za," celetuk Zidan. "Gue sebagai teman sebangku lo hampir satu semester ini, tahu banget tentang lo, Za. Lo keliatannya aja extrovert, padahal aslinya itu introvert. Makanya kalau lo sendirian mulu, lo pasti lagi galau atau punya masalah. Ya, kan?"

          Recza hanya menatap layar ponselnya. Pura-pura menyibukkan diri dan mencari lagu yang akan diputar selanjutnya.

          Semuanya ia lakukan karena perkataan Zidan benar. Recza memang punya banyak teman, terkenal di sekolah karena kemampuannya, dan juga, pandai bergaul dengan teman-teman di sekolahnya.

          Namun, bukan berarti dengan semua itu Recza tergolong dalam anak yang extrovert. Sejujurnya, jika dalam menghadapi suatu masalah, Recza tergolong anak introvert. Ia tidak pernah mau menunjukkan pada orang-orang di sekitar bahwa dirinya sedang dalam masalah.

          Bahkan, untuk mengeluarkan dan melampiaskan keluh-kesahnya saja Recza tidak pernah melakukannya pada teman-temannya. Karena Recza bukan tipe cowok seperti itu.

          Recza adalah cowok yang selalu berusaha menyelesaikan masalahnya sendiri. Walaupun terkadang masalahnya tak kunjung selesai, ia tetap seolah bertingkah semuanya baik-baik saja—meskipun kenyataannya dia tidak begitu.

          "Denger, Za," ujar Zidan lagi. "Kalau lo ada masalah, gue—kita-kita bakal siap bantu lo, kok."

          Recza kembali menatap Zidan, temannya yang selalu mengerti akan apa yang sedang dihadapinya. Namun, diam menjadi jawaban sementara dari Recza untuk kali ini.

CounterpartOù les histoires vivent. Découvrez maintenant