7th trouble

19K 1.8K 123
                                    

T U J U H

          Jalanan yang luas dan lengang di pagi hari itu menjadi pemandangan yang sudah tidak biasa lagi di daerah Bandung. Pohon-pohon tinggi besar yang rimbun, sedikit pancaran sinar matahari yang menyinari kabut pagi, tersapu begitu saja ketika sebuah mobil merah berukuran kecil berhenti di depan pintu gerbang sekolah. Sekolah yang terkenal dengan senioritasnya yang paling kejam―SMA Bakti Nusa.

           Sebuah tangan langsung mengguncang tubuh Adiska yang sedang tertidur lelap. Ulah tangan laki-laki yang berada di atas bahu Adiska itu akhirnya berhasil membuat kedua iris mata berwarna coklat menampakkan keindahannya.

           "Bangun, lo, Dis," perintah Bagas yang masih menggoyangkan bahu adiknya. "Sekolah lo udah di depan tuh. Ah elah, bangun dong! Gue telat, nih."

            Adiska mengucek salah satu matanya sambil menguap. "Ah, bawel. Iya gue bangun."

           "Aduh, Dis. Lo tuh, ya, sekarang kan udah SMA," ujar Bagas lagi, "rajinan dikit, kek. Kan katanya lo masih mau masuk Kampus Gajah Bengkak itu. Jangan malesan coba, Dis."

            Adiska menoleh pada Bagas. "Bisa aja, lo, Kak, nasehatin gue kayak gitu. Nilai kimia lo aja masih dji, sam, soe―kalo ga dua, tiga, ya empat paling."

            Bagas langsung mengucek-ngucek rambut adiknya yang dibiarkan terurai itu. "Ah udah, udah, sana lo turun! Gak usah bawa-bawa nilai kimia gue. Ini udah jam setengah tujuh lebih, Dis. Entar gue telat."

            Mulutnya mulai bergerak, mengikuti gerakan omongan kakaknya―yang mengisyaratkan bahwa gadis itu sedang mengejek kakak cowok satu-satunya. Salah satu tangan putih itu membuka pintu mobil, dan menggerakkan kakinya ke luar.

            Sebelum ia benar-benar menutup pintu, Bagas kembali berbicara. "Lo, serius gak ada yang mau lo ceritain ke gue?"

            Gadis yang memakai jaket berwarna biru tua itu mengerutkan keningnya. "Hah? Cerita apaan?"

            "Gak usah pura-pura lo," decak Bagas. "Selama tiga hari ini, lo banyak diem, sering tidur lebih awal. Lo kan kalo kayak gitu biasanya ada masalah atau paling lagi galau. Galaunya lo tuh aneh. Yang lain mah sedih, ck, ini malah tidur lebih awal."

            "Enggak, kok, Kak. Gak ada masalah."

            "Terserah sih, kalo lo mau cerita ke gue atau enggak, Dis. Gue tau, biasanya lo cuma mau cerita sama gue, kalo gak ada...Papa. Gue kan, kakak lo. Gue gak mau adik gue kenapa-napa."

            Senyuman kecil mengukir di wajah Adiska. Inilah yang menurut Adiska adalah hal yang paling disukainya kalau punya kakak laki-laki―selalu perhatian ke adiknya kalau ada sesuatu yang aneh atau mengganggu.

            "Udah kalem aja, Kak Bagas. Gue bakal cerita, kok, kalau gue punya masalah."

            "Ya udah. Gue cabut dulu. Takut telat nanti."

             Klakson pun terdengar, sebagai isyarat gue pergi dulu yaa, Dis. Sementara di depan gerbang sekolah, Adiska hanya memandang mobil merah itu dari kejauhan.

             Bagas adalah kakak laki-laki satu-satunya yang dia punya. Seorang siswa SMA kelas 12 yang selalu jahil tapi perhatian terhadap adik-adiknya. Bagas memang sayang dengan kedua adik perempuannya, baik itu Adiska maupun Kanaya. Tapi, kalau dibilang mana yang paling asik buat diajak ngobrol atau cerita, bagi Bagas itu adalah Adiska. Mungkin itu karena masa kecilnya lebih banyak dihabiskan dengan bermain bersama adik keduanya itu ketimbang si bungsu Kanaya.

CounterpartWhere stories live. Discover now