His Family

753 50 2
                                    

REI

Waktu SD gue ingat banget pernah dikasih tugas rumah sama Guru gue, "Gambarkan sosok orang tua mu!". Dari kecil gue udah jago gambar, gue selalu bangga lihat hasil dari tangan gue ini. Saat dapat tugas itu gue bingung, sampai-sampai gue telat ngumpulin tugas itu karena terlalu bingung. Kalau diminta untuk menggambarkan sosok Mama, gue akan menggambarnya dengan senyum sombong gue, Mama itu sosok orang tua yang sering marah-marah di dapur. Iya, dapur itu tempat favorit Mama buat marahin gue dan Hana.

Satu sosok yang membuat gue bingung, sosok Papa. Harus gue gambarkan seperti apa sosoknya? Dari kecil gue sudah di suguhkan sosok Papa yang pemarah, yang selalu menganggap dirinya paling benar, yang kasar, dan yang tidak peduli atas kehadiran gue maupun Hana. Sosok yang bahkan enggak pernah menghargai Mama.

Gue merasakan didikan keras yang Papa berikan, tapi bukan sesuatu yang bisa membuat gue menjadi anak yang lebih baik. Beliau lebih sering memarahi gue dengan alasan yang enggak jelas. Kayak misalkan waktu gue SD kelas 3 (kalau enggak salah), gue pulang ke rumah jam 3 sore, abis main sama anak-anak komplek rumah gue. Sampai rumah cuma ada Papa dan gue malah kena sabetan gesper Papa. Sampai akhirnya Mama pulang dan histeris liat badan gue yang merah-merah.

Karena enggak tahu harus gambar apa, akhirnya gue hanya menggambar sosok Papa yang sedang minum kopi di teras rumah. Padahal, Papa enggak pernah tuh yang namanya santai-santai di rumah. Pergi pagi, pulangnya pagi lagi. Begitu terus setiap hari, mau ngalahin Bang Toyib kali ya. Gue juga enggak tahu sih.

Maka itu, Mama selalu mendorong gue menjadi laki-laki yang baik. Semakin dewasa gue semakin mengerti, kalau Mama suka marahin gue ya karena gue salah. Mama enggak pernah marah tanpa sebab.

Siang ini saat jam istirahat, Papa tiba-tiba mengajak gue bertemu di restoran yang enggak jauh dari kantor gue.

Setelah perceraian Mama dan Papa, gue jarang banget ketemu Papa. Setahun mungkin hanya dua kali, itu pun kalau sedang hari raya.

Papa duduk dihadapan gue dengan kemeja rapi dan kacamatanya. Sudah lama enggak melihat Papa, gue sangat yakin seratus persen kalau Papa sudah kehilangan bobot badan yang lumayan banyak. Kelihatan jelas dari jari-jari tangannya dan juga pipi nya yang menjadi tirus.

"Papa mau ngomong apa?" Tanya gue setelah lama menunggu suara yang enggak keluar-keluar dari mulut Papa.

"Ah enggak, Papa cuma mau nanya kabar Hana dan Mama kamu. Mereka gimana?"

A man and his regrets.

Sebagai laki-laki, gue sangat mengakui kalau laki-laki adalah makhluk yang egois. Gue dan Papa adalah bukti nyatanya, mungkin ini alasan mengapa penyesalan selalu datang terlambat. Ego.

Ibarat saat kita memiliki sesuatu dan dikemudian hari kita ingin sesuatu yang lain, padahal kita nggak boleh memiliki keduanya. Tapi dengan egois nya, kita malah mempertahankan yang lama tapi berusaha juga mendapatkan yang baru.

Itulah gue dan Papa.

Maka itu gue enggak mau seperti Papa, enggak mau diam dalam penyesalan tanpa berbuat apa-apa.

Gue kembali mengejar Kalana, ya karena gue merasa kalau gue masih sayang sama Kalana. Dan gue juga enggak mau menyia-nyiakan kesempatan yang masih di kasih Tuhan untuk memperbaiki kesalahan gue.

Beda dengan Papa, sudah berapa tahun yang di kasih sama Tuhan untuk memperbaiki kesalahan dia? 24 tahun yang Tuhan berikan, tapi enggak merubah apapun.

"Baik." Jawab gue singkat. Papa mengangguk. Setelahnya enggak ada pembicaraan lagi antara kami, gue hanya sibuk mengaduk-aduk kopi gue.

MEET YOU [COMPLETED]Where stories live. Discover now