Everything is Good

780 43 0
                                    

RAINA

Sejujurnya, seumur hidupku aku belum pernah mengikhlaskan apapun sama sekali. 

Jika ditanya apakah aku ikhlas dengan kepergian Mama, jawabanku tidak.

Jika ditanya apakah saat SD aku ikhlas anjing peliharaanku mati karena diracuni oleh orang iseng, jawabanku tidak.

Jika ditanya apakah aku ikhlas saat salah satu bonekaku diambil oleh sepupuku, jawabanku tetap sama, tidak.

Aku hanya berpasrah, toh sudah terjadi mau bagaimana lagi. Tapi orang lain selalu menganggap kalau aku sudah ikhlas, kecuali Mama. Mama selalu tahu kalau aku menyimpannya sendiri, maka itu setiap suatu hal terjadi Mama selalu mengusap punggungku lembut dan berbisik "Pelan-pelan ikhlas ya, Rain.". Selalu begitu, terus berulang. 

Namun saat Mama yang pergi semua orang memintaku untuk ikhlas tapi tidak ada yang  tahu sampai hari ini kalau nyatanya aku belum ikhlas.

Soal ikhlas itu bohong. Ini soal berpasrah dengan keadaan dan akhirnya terbiasa.

Sore ini aku kembali menginjakkan kaki di Jakarta, setelah semua urusan di Jogja selesai aku harus kembali menghadapi ibukota lagi. Aku menatap tanganku yang sejak tadi berada dalam genggaman Rei, hangat. Aku beralih menatap Rei yang sedang sibuk dengan ponselnya, sampai satu taksi berhenti di depan kami.

Aku sangat paham kalau Rei berusaha untuk memberiku kekuatan tanpa mengganggu personal space ku. Maksudnya, Rei tidak menghakimi egoku setelah aku berkata jujur kepadanya, kalau aku tidak ikhlas dengan kepergian Mama dan Ayah. Saat mendengar itu, Rei hanya menarikku kedalam pelukkannya lalu mengusap punggungku lembut. Tidak ada kalimat "Pelan-pelan ikhlas ya.", seperti yang biasa Mama katakan. Tapi rasanya sama-sama menenangkan dan aku tidak merasa disudutkan oleh Rei atas egoku.

"Na ke rumahku dulu ya? Mama lagi masak banyak."

"Boleh.."

Rei menyebutkan alamat rumahnya kepada supir taksi. Aku tidak sempat membawa pakaian saat pergi jadi aku juga tidak membawa apa-apa lagi saat kembali ke Jakarta. Sedangkan Rei hanya singgah sebentar di Jakarta karena Hari Minggu nanti Gina dan Dave menikah, Senin subuh akan kembali ke Jogja karena pekerjaannya belum selesai.

Tanpa sadar aku tertidur selama perjalanan dari bandara ke rumah Rei, mungkin karena jarak yang lumayan jauh dan aku yang memang kurang tidur. Rei membangunkanku sesaat setelah memasuki komplek perumahan. Taksi berhenti tepat di depan pagar hitam yang asing, ini adalah kali pertama aku mengunjungi rumah baru Rei meski beberapa kali Rei pernah mengajakku. Sapaan Tante Rena menyambutku, pelukan dan pertanyaan aku sudah makan atau belum tiba-tiba terasa sangat hangat.

Walau hanya ada empat orang, rasanya ruang makan ini ramai. Cerita persiapan Hana memasuki kuliah, cerita Hana soal band Daniel (sahabat kecil Hana), cerita proyek Rei, cerita teman arisan Tante Rena, dan lelucon yang sering Rei lontarkan.

Setelah selesai makan aku dan Rei duduk di ruang tamu, Tante Rena dan Hana pamit untuk pergi ke toko buku untuk membeli keperluan Hana mengikuti ospek. Rei bersandar di sofa sebelahku, tangannya sibuk mengetik balasan rekan kerjanya sedangkan aku hanya menonton infotainment yang sedang membahas kabar perselingkuhan artis, lagi.

"Your home is always warm ya. Tante Rena hebat karena selalu bisa membuat suasana rumahnya hangat. Meskipun dulu kata kamu orangtua kamu sering adu argumen, tapi dari dulu aku selalu suka rumah kamu."

Aku menoleh kearah Rei, merasakan kalau ia menatapku sejak aku mulai berbicara.

"Kalau nanti Mama kamu pulang, aku boleh nanya enggak resep rahasianya apa?"

Rei tertawa mendengar pertanyaanku, dengan cepat ia menarikku mundur agar ikut bersandar dengannya di sofa.

"Resep rahasianya, harus ada Reinaldi di dalam rumahnya."

Aku memutar mataku malas mendengarnya. "Yang ada malah bikin sakit kepala." Ujarku pelan yang direspon berlebihan oleh Rei, laki-laki itu menarikku mendekat. "Emang aku bikin kamu pusing ya?" Rei dan dramanya.

"Sedikit sih, tapi enggak apa-apa juga. Aku nya yang mau dibikin pusing sama kamu.– Eh tapi aku serius loh, soal Tante Rena yang keren. Di titik terendahnya pun, Tante Rena tetep bisa bimbing anak-anaknya sampe jadi keren-keren gini."

"No, I'm not Kalana." Ah intonasi suara dan tatapan Rei berubah, but I really mean it. Dengan segala kekurangan dan kesalahan Rei dulu, tidak dipungkiri kalau Rei tetap seorang anak yang sangat baik.

"Yes, you are. Despite all of your past, you're still a great son, Rei."

"But I'm not a good partner for you, Kalana."

"Neither me. We both still trying, didn't we?"

Rei mengecup pipiku dengan gemas, lalu menarik tanganku mengapitnya dilengannya, "You really know how to comfort people, Kalana."

Aku menatap jemariku yang berada dalam genggaman tangan Rei, sebelum akhirnya kembali menatap Rei. "Kamu juga. Dua hari terakhir ini pasti susah juga buat kamu, you have to face Kalana who doesn't even know how to deal with herself. The most selfish woman in your life. Thank you for hanging in there with me, Reinaldi."

Rei tersenyum, tangannya yang lain mengusap kepalaku lembut sebelum akhirnya ia merespon dengan kalimat yang membuatku mencubit pinggangnya dengan gemas.

"It's my pleasure to ride and stay forever on this roller coaster."

MEET YOU [COMPLETED]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora