His Presence

935 82 1
                                    

REI

Banyak hal baru yang selalu gue temukan tiap mengerjakan proyek baru. Gue selalu berusaha menyesuaikan diri dengan hal-hal baru itu. Tipe-tipe klien yang berbeda adalah hal yang harus banget gue perhatikan.

Dua minggu ini gue bakal menetap di Jogja, buat ngurusin proyek hotel disana. Nanti sore gue berangkat, makanya hari ini gue enggak bisa ajak Kalana pulang bareng. Segala macam keperluan sudah gue urusin, termasuk titipan oleh-oleh buat si Hana.

Siang ini gue memilih untuk makan siang bareng Kalana, katanya dia mau makan di kantin kantornya aja.

Rei: na dmna?

Raina: udh sampe?

Raina: tunggu di lobi bentar ya, ini lg turun

Rei: oke

Enggak lama setelah chat terakhir gue dibaca, Kalana keluar dari lift. Cuma pakai blouse warna soft pink dan cotton pants warna putih aja Kalana sukses bikin gue deg-degan. Rada lebay sih, tapi serius gue deg-degan. Kalana keliatan lucu banget. Padahal outfit begini biasa aja, dulu kalau pergi sama gue juga nggak beda jauh. "Ada temen-temen gue enggak apa-apa?" tanya Kalana setelah berdiri tepat di depan gue. Ada temennya ya, berarti ada Gilang juga dong?

"Enggak apa-apa kok."

Tiap kali Kalana enggak mau pulang bareng gue, dia selalu bilang kalau dia bakal pulang bareng sama Gilang. Gue enggak tahu hubungan mereka gimana, gue enggak tahu apa Kalana lebih nyaman sama gue atau sama si Gilang. Sikapnya Kalana akhir-akhir ini memang menunjukkan kalau dia enggak risih lagi sama keberadaan gue. Tapi tetap aja si Gilang ini menganggu gue.

"Hai!" Kalana melambaikan tangannya ke sebuah meja yang dikelilingi beberapa orang. Dua cewek dan tiga cowok. Gue ikut bergabung dengan mereka, awkward sih tapi untungnya mereka menyambut baik kehadiran gue.

"Rei." Gue menjabat tangan mereka satu-persatu, "Sama kayak di foto ya aslinya, hehehe.." perkataan salah satu teman Kalana ini membuat gue mengernyit bingung, foto yang mana yang dia maksud? Gue melirik Kalana yang langsung dibalas Kalana dengan membuang muka. Tapi gue masih jelas liat pipinya Kalana merah. Jadi Kalana sering cerita-cerita tentang gue ke temen-temennya? Hehehe jadi seneng.

Obrolan kami hanya sebatas pekerjaan, teman-temannya Kalana ini kepo banget sama kerjaan gue. Setelah gue menjelaskan tentang pekerjaan gue, mereka langsung masang ekspresi kagum yang bener-bener kagum. Padahal gue enggak tahu bagian mana yang harus dikagumi dari seorang arsitek. Kami juga memperbincangkan tentang konser-konser band lokal, yang ternyata geng nya Kalana ini juga suka nonton begituan. Dan ada beberapa konser yang mereka hadiri bertepatan dengan gue yang juga dateng ke konser itu. Bingung aja gue kenapa enggak pernah ketemu mereka, ketemu Kalana. Malah baru empat bulan lalu gue dipertemukan dengan mereka.

"Next concert nonton bareng lah kita,"

"Boleh tuh, setau gue tahun baru nanti di Lembang ada. Mau nonton enggak?"

"Boleh." Gue menerima ajakan mereka. Enggak salahkan gue temenan sama temannya Kalana? Akhir-akhir ini gue berusaha untuk enggak menjadi terlalu asing dengan lingkungan Kalana. Kalau bisa gue mau mengenal teman-temannya.

Setelah makanan kami habis, kami mengobrol sebentar. Lalu membayar makanan kami dan bersiap kembali ke kantor. Teman-teman Kalana menunggu di dekat lift, sedangkan Kalana mengantar gue keluar lobi. "Udah disini aja, enggak usah ke parkiran." Gue menahan Kalana saat dia masih mau melanjutkan jalan kearah parkiran mobil. Dia berhenti disebelah gue, "Oke.." gue diam, bingung mau ngomong apa.

"Gue ke Jogja nanti sore," gue belum bilang apapun sama Kalana tentang tugas gue ke Jogja. Kalana menatap gue, mungkin bingung kenapa gue harus lapor sama dia kalau gue mau ke Jogja. Gue siapa dia memangnya?

"Mau dibawain apa pulangnya?"

"Lama di Jogja nya?" Kalana masih menatap gue, "Dua minggu paling cepetlah, ganti-gantian sama temen gue." Cewek ini mengangguk pelan. Tapi enggak menjawab pertanyaan gue tadi, "Mau dibawain apa Kalana? Bakpia?"

Kalana diam beberapa saat, sebelum akhirnya mengeluarkan suara yang hampir membuat lutut gue lemas.

"Bosen makan bakpia, dulu udah puas makannya. Enggak usah bawa apa-apa deh, lo balik ke sini aja."

***

RAINA

Aku sendiri juga tidak mengerti kenapa aku bisa mengatakan hal itu kepada Rei. Melihat ekspresi kaget Rei membuat aku buru-buru pamit masuk kedalam gedung kantor. Wajahku memanas, membuat teman-temanku bertanya aku kenapa sampai wajahku bisa semerah itu. Sesampainya di kubikel ku, aku menjatuhkan diri di kursiku. Saat memejamkan mata, malah wajah Rei dengan senyum bodohnya muncul disana. Getaran di ponselku membuat aku meraih benda persegi panjang itu,

Rei: see you asap :)

Ahh! Kenapa sih sifat isengnya Rei belum berubah juga? Begini kebiasaan Rei, saat tahu sesuatu tentang rahasiaku biasanya dia akan terus meledek. Aku harus ngambek dulu agar dia berhenti meledek ku seperti itu.

Raina: okay, take care

Rei: see you asap kalana :)

Aku tidak membalas lagi, membiarkannya lalu beralih pada laptop ku.

Kalau boleh jujur, dulu aku selalu suka saat Rei memanggilku dengan nama tengah ku itu. Yang ternyata rasa senang itu masih ada sampai sekarang. Hanya Rei yang memanggil ku dengan nama itu dan aku suka dengan kenyataan 'hanya dia' itu. Sudah berkali-kali aku bertanya alasan mengapa dia memanggilku dengan Kalana bukan Raina, berkali-kali juga dia tidak menjawab pertanyaan itu. Hanya dengan menjawab dengan perkataan konyolnya, "Karena aku sayang kamu,"

"He's good. Gue jadi semakin bertanya-tanya kenapa lo bisa putus sama dia." Perkataan Naomi membuatku memutar mata malas. "Ya namanya enggak cocok masa mau dipaksain sih sist?" Jawabku asal sambil mengecek email yang baru saja masuk, membiarkan Naomi berspekulasi sendiri tentang hubunganku dan Rei.

Gilang yang baru kembali dari pantry menatapku sekilas, lalu kembali fokus pada laptop nya. Sikap Gilang berubah akhir-akhir ini, tidak banyak sih yang berubah. Tapi aku bisa merasakan nya. Biasanya tiap malam minggu Gilang akan mengajakku pergi, entah itu hanya makan malam ataupun menonton. Sebulan terakhir ini aku sudah jarang pergi dengan Gilang, entah kenapa aku juga merasa kalau diriku juga menarik diri dari Gilang. Lebih tepatnya, menjaga jarak.

Kalau kata Gina mungkin sikap ku ini timbul karena keberadaan Rei. Aku juga tidak mengerti dengan sikap ku terhadap Rei. Kalau ditanya apa aku masih terluka akan berakhirnya hubunganku dengan Rei dulu, aku akan menjawab iya. Tapi kenyataannya aku tidak bisa membenci Rei seperti itu. Kenyataannya aku tidak bisa bersikap tidak peduli dengan keberadaan Rei. Kenyataannya aku peduli dengan keberadaan laki-laki itu.

MEET YOU [COMPLETED]Where stories live. Discover now