Love-lies-bleeding

Start from the beginning
                                    

***

Miranda memukul meja Erick didepannya. “Apa maksud dari memanfaatkan Lily, Rick?!”

“Santai dulu, Kakak Ipar.” Erick meraih tangan kedua tangan Miranda dan mengelusnya pelan sambil menyengir. “Biar Adik Iparmu yang keren ini jelaskan dulu.”

Tanpa menjawab, Miranda menarik kasar tangannya kembali sebelum memperbaiki posisi duduknya sambil mendengus sebal. Ia melipat tangan dibawah dada dan menatap Erick dengan sorot yang tajam.

“Ada beberapa alasan kenapa aku harus menahan Lily berada di sekolah ini.” Erick tertawa kecil sambil menggeleng dengan raut wajah yang sulit dijelaskan. “Awalnya sih alasan paling besar adalah Kala. Dengan semaunya aku merangkai skenario agar Lily dan Kala bertemu disini. Aku tahu jelas sedekat apa Lily dengan Kala waktu kecil. Jadi, aku ingin mempersatukan kembali sepasang sahabat itu.”

“Awalnya sih ... ?” Miranda mulai serius mendengarkan. “Alasanmu berubah?”

“Tidak kok. Alasanku hanya bertambah dan alasan itu menggeser alasan utamaku.” Erick membuka laci mejanya dan mengeluarkan sebuah foto disana. Erick memberikan selembar foto itu kepada Miranda.

Miranda meniti foto yang ia perkirakan adalah Erick sekitar 10 tahun yang lalu. Erick terlihat sangat bahagia disana bersama seorang gadis berwajah ayu yang memeluk pinggangnya sambil tersenyum lebar. Mereka terlihat seperti pasangan yang berbahagia di mata Miranda.

“Dia yang ada di foto itu adalah alasanku tidak menikah sampai sekarang,” ucap Erick pelan. “But, in another life I’ll marrying with her and we’ll be okay forever.”

“Rick ….” Miranda menaruh foto itu diatas meja. Kedua tangan mungil Miranda meraih tangan Erick dan menggenggam kedua tangan besar itu erat, berupaya memberikan kekuatan kepada adik iparnya.

“Miranda, kira-kira apa kamu bisa menebak siapa gadis di dalam foto itu?” Erick tersenyum perih ketika Miranda menggeleng pelan. Tanpa bisa ditahan, setetes air mata jatuh di pipi kiri Erick. “Dia adalah Ibunya Jasmine, namanya Tasya. Wanitaku, bagian dari hidupku, dan seseorang paling berharga yang menjadi milik orang yang tak pernah menginginkan kehadiran dirinya.” Erick memalingkan wajah, menyembunyikan air matanya yang mengalir semakin banyak.

Ketika tangan besar dalam genggamannya bergetar hebat, Miranda semakin mengeratkan genggamannya sambil sesekali mengelus lembut. Miranda masih tidak mengerti arah pembicaraan ini sebenarnya. Dengan sabar Miranda menunggu Erick sampai lebih tenang.

“Aku dan Tasya dipaksa berpisah karena orang tua Tasya ingin anak mereka menikah dengan anak sahabat mereka. Tentu saja kita tidak terima, tapi Tasya pada akhirnya menyerah  dan menerima perjodohan itu. Kita pun putus.” Erick menarik tangannya dari genggaman Miranda untuk mengusap wajahnya dengan frustasi. Erick terdiam sejenak dengan sorot mata hampa yang penuh kesedihan.

Miranda menunggu dengan sabar. Akhirnya Miranda tahu alasan dibalik Erick menolak untuk menikah di usianya yang sudah di pertengahan 30 tahun. Padahal Erick bisa tinggal menunjuk untuk menikahi siapa saja karna ia hampir memiliki apapun. Tampan, kaya, baik, humoris, pintar, dan rajin ibadah. Calon suami idaman sekali pokoknya.

“Tasya seakan menjauhiku dan menghilang begitu saja. Rasanya aku mau gila waktu itu.” Erick tertawa pahit. “Ironisnya, belum selesai aku merelakan pernikahan Tasya, aku mendapatkan kabar bahwa Tasya meninggal karena bunuh diri.” Tanpa Erick sadari, ia memukul meja didepannya dengan tangan terkepal. Sekali lagi, air mata mengalir di pipi tirus lelaki itu.

Miranda bangkit dari kursi yang didudukinya untuk menghampiri Erick dan memberikan lelaki itu sebuah pelukan hangat. Erick menjatuhkan kepalanya di bahu mungil Miranda selagi wanita itu mengelus punggung lebarnya untuk menenangkan dirinya.

PainHealerWhere stories live. Discover now