#28

52.7K 6.2K 1.2K
                                    

Satu bulan.

Dua bulan.

Dan tanpa terasa, hampir setahun sudah berlalu sejak percakapan terakhir antara Azalea dan Adrian di atas rooftop sebuah gedung tak bernama. Adrian tidak pernah melupakan hari itu, saat-saat terakhir dimana dia menjemput senja bersama seorang gadis untuk pertama kalinya. Momen dimana ada sepercik harap yang terbersit, ingin bahwa untuk sekejap saja, walau hanya sekejap saja, waktu bisa melambat. Namun waktu tentu saja tidak pernah mau berkompromi. Dia terus berjalan. Dan semakin lama dia berjalan, semakin banyak yang dia ambil.

Belum satu tahun, namun ada banyak yang berubah. Bukan hanya bagi Adrian, tapi bagi teman-temannya yang lain. Kebanyakan tentu saja bertema romansa. Dinamika patah hati dan menemukan cinta yang lain. Lihat saja Dio dan Hana yang mungkin tidak akan punya keberanian menatap mata satu sama lain hari ini. Atau canda yang lama mendingin antara gadis itu dengan Edgar. Atau Raya yang kini menghilang tidak ada kabar, lenyap diantara guguran salju negeri matahari terbit. Orang selalu bilang bahwa masa adalah obat. Sesuatu yang menyembuhkan.

Tetapi mereka lupa bahwa masa juga bisa sangat destruktif. Dia mampu mengikis memori dari sudut terdalam kenangan. Atau mengubah seseorang yang pernah sangat berarti menjadi orang asing.

Adrian kesepian. Pada tiga bulan pertama, Azalea memang menepati janjinya. Gadis itu tidak menghilang. Malah justru, Adrian adalah pihak pertama yang melanggar kesepakatan mereka. Dia tidak bisa menahan diri untuk mengekori Azalea setiap sore, memandang punggungnya dari kejauhan, lalu membayangkan apa yang mungkin sedang gadis itu pikirkan. Lalu boom! Seperti trik sulap seorang pemain sirkus yang menghilangkan kelinci dari topi, gadis itu lenyap begitu saja. Pintu rumahnya tertutup rapat. Bangunan itu kosong. Lantas perlahan beku tanpa jejak.

Adrian tidak pernah lelah mencarinya. Masih dalam kesunyian. Di bawah bayang diam. Lalu pada suatu titik, dia menyerah. Dia membiarkan rutinitas harian menelannya bulat-bulat. Membiarkannya tetap sibuk, walau dengan hampa. Kemudian di akhir hari, dia akan terlelap dengan nama Azalea yang masih bergema dalam sudut terdalam lengkung tengkoraknya.

Sesekali dia masih mencoba menikmati hidup. Pergi dengan Jeviar, Faris dan teman-temannya yang lain. Tetapi dadanya seperti telah berlubang. Rongga kosong yang tak mungkin dapat terisi, kecuali dengan kehadiran gadis itu. Liang hitam yang semakin hari kian membesar. Hanya tinggal menunggu waktu sampai liang itu menelan diri Adrian sepenuhnya.

Mereka bilang orang bijak adalah orang yang paling sering terluka dan orang yang paling banyak tersenyum adalah orang yang paling kesepian. Mungkin saja betul. Tapi tidak selamanya luka dan kesepian ada untuk membuat seseorang menjadi lebih baik. Ada saatnya dimana luka dan kesepian membuat seseorang menjadi terlampau emosional dan egois. Juga biasanya, tidak ada yang menyadari bahwa orang tersebut memiliki luka dan terjebak sepi sampai terlalu terlambat untuk menyadarinya.

Tetapi ada seseorang yang menyadari itu. Dan dia membantu Adrian untuk tidak kehilangan dirinya. Orang itu adalah Aries.

"Adrian, why do you love that pinky color too much?"

Suara itu terdengar, membuat Adrian berhenti menyapukan kuas berlumur cat di tangannya pada permukaan kanvas. Cowok itu melirik dari tepian kanvas, pada seorang gadis berambut sebahu yang sedang tiarap di atas karpet. Sejumlah diktat dan buku catatan yang terbuka tersebar di hadapannya. Dia memutuskan untuk pindah dari rumah dan menyewa sebuah unit apartemen pada gedung yang sama dengan Faris sekitar dua bulan lalu, dan sejak saat itu, Aries kerap datang. Mereka tidak melakukan apa-apa. Hanya saling menemani. Terkadang Adrian melukis dan Aries mengerjakan tugas kuliahnya. Seperti saat ini.

"It's not a pinky color, Aries."

"Hm. Terus apa dong?"

"Warna ini punya nama." Adrian tertawa kecil, dan mata gadis itu kembali terbayang dalam benaknya. "Namanya rose quartz."

ROSE QUARTZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang