#23

62.5K 7K 791
                                    

Jogjakarta adalah sebuah bagian romantis dalam hidup seorang Azalea. Memori pertamanya tentang kota itu adalah ketika pertama kali, ayahnya mengajaknya menonton sebuah pementasan sendratari. Gadis itu masih ingat bagaimana takjubnya dia tatkala melihat para pelakon itu larut dalam peran, seakan jiwa mereka bukan lagi jiwa mahasiswa tingkat akhir yang sedang bergelut dengan skripsi atau seorang bocah kecil yang bertanya-tanya kapan dia bisa membeli sepasang sepatu baru untuk dipakai pergi ke sekolah. Mereka melebur ke dalam sosok Rama, Sinta, Hanoman—dan entah apalagi karena nalar anak enam tahun Azalea tidak begitu kuat untuk dapat mengingatnya.

Dan kini, setelah sekian tahun berlalu, Jogja tidak berubah. Dia masih tetap gempita oleh denyut kehidupan yang mengaliri jalanan kotanya. Suaka bagi para pelajar. Rumah bagi banyak seniman. Angkringan. Jalan Malioboro kala malam menjelang. Langit yang sakit oleh polusi kendaraan namun tetap berjuang keras untuk mampu menampilkan kilau gemintang. Pengamen. Suara petik ukulele di kejauhan. Tembang dengan nada khas yang seperti tak bosan mengingatkan dimana mereka berada sekarang.

Jogjakarta selalu menawarkan apapun bagi Azalea, kecuali kesedihan.

Kening Adrian berkerut segera setelah mereka turun ke lobi. Matanya memandang bergantian ke luar jendela, dimana langit terlihat gelap meskipun kentara jika suasana di luar hotel masih tetap semarak. Lalu matanya menyipit pada Azalea yang hanya mengenakan sweater berwarna gelap. Tidak butuh waktu lebih dari sekian detik bagi Adrian untuk kemudian melepaskan jaket yang dia kenakan, menyampirkan secara tiba-tiba di bahu Azalea hingga cewek itu terperangah tidak menyangka.

"Kenapa?"

"Lo nggak pake jaket."

"Hm, emang harus ya?"

"Pencegahan sih. Daripada lo masuk angin atau demam lagi."

"Kalau gitu," mata Azalea menatap tidak enak pada Adrian yang kini hanya mengenakan kaus rajut lengan panjang berwarna navy. "Gue bisa balik ke kamar bentar. Ambil jaket."

"Enggak usah."

"Cuma bentar kok."

"Gue lebih suka liat lo pake jaket gue." Adrian mengedikkan bahunya, menjawab dengan nada tanpa beban yang mau tidak mau membuat Azalea hanya bisa terdiam.

"It's a nice city." Adrian bergumam ketika mereka berjalan beriringan di trotoar, sambil matanya mengamati keramaian Jalan Malioboro yang terlihat berada beberapa puluh meter di depan mereka. Kereta kuda, para pengamen dengan dandanan nyentrik dan tungku arang dari warung tenda penjual bakmi Jawa memenuhi pandangan. Suara berisik minyak dalam penggorengan. Bau daging sate yang dibakar. Denting bongkahan es batu yang membentur tepi gelas. Mereka seperti baru saja menginjakkan kaki di sudut paling estetik negeri.

"Lo nggak pernah ke Jogja?"

"Pernah, sih. Tapi udah lama banget."Adrian berhenti, membiarkan Azalea melangkah lebih dulu hingga cewek itu berjalan di depannya ketika mereka tiba di bagian tepi jalan yang tidak memiliki trotoar. "Hampir nggak inget apa-apa. Dulu juga nggak sempat mampir lama ke Malioboro."

"Tunggu." Azalea berhenti berjalan. "Kan lo yang ngajak. Kenapa jadi gue yang jalan di depan? Mana gue tau kita mau makan dimana?"

"Karena jalannya nggak cukup buat kita jalan sebelahan."

"Bukan itu maksud gue," Azalea menyahut dengan suara agak jengkel.

"Hm, karena ratu harusnya nggak jalan di belakang?"

"Rian, tolong ya."

Adrian tertawa. "Gue serius."

"Gue juga serius. Kita mau makan dimana?"

ROSE QUARTZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang