#02

106K 10.1K 910
                                    

"Apa?" Gue bertanya diiringi pelototan galak sesaat setelah gue mengambil satu gigitan besar dari double cheese burger di tangan gue. Adrian tidak memberikan reaksi berarti, atau minimalnya tatapan sengit seperti yang gue duga. Cowok itu setenang telaga. Tangannya meraih sepotong chicken nugget, lantas memasukkannya ke mulut. Dia makan dengan rapi, kayak bangsawan. Berbeda dengan gue yang bertingkah layaknya kuli tambang baru masuk ke restoran ternama.

Tapi diam-diam, ada setitik rasa syukur dalam benak gue ketika mendapati Adrian membelikan makanan cepat saji dari restoran ayam goreng western yang sudah sangat populer--bukan cuma untuk gue, tapi teknisnya juga bahkan buat Faris. Nggak apa-apa sih, gue juga nggak merasa tersanjung atau apa sama sekali. Buat apa? Nggak guna.

"Kalau gue liat-liat, lo punya persamaan dengan Hana." Faris yang masih sibuk mengunyah french friesnya mendadak bicara masih dengan mata terbalut kacamata 3D. Dia lagi sibuk menonton film di perangkat home theaternya yang gue tau harganya sama sekali nggak murah. Cih, dunia memang benar-benar nggak adil. Kenapa orang-orang brengsek macam cowok-cowok ini justru mendapatkan kenikmatan hidup lebih banyak, sementara yang lain harus berjuang mati-matian bahkan cuma untuk memastikan ada nasi di meja makan?

"Oh ya?" gue bertanya dengan sarkasme yang kental, nggak berminat untuk tahu siapa Hana yang dimaksud oleh Faris. Mungkin salah satu dari cewek-cewek kecengan mereka? Atau mungkin teman yang kerap gue lihat nongkrong sama mereka di kantin teknik?

Well, gue nggak sesering itu pergi ke FT. Gue hanya pergi ke fakultasnya para cowok itu ketika gue butuh sesuatu, seperti menitipkan penganan ringan di kantinnya yang terhitung salah satu terbesar sekampus, atau menyendiri di perpustakaannya yang naman. Anak teknik nggak seambis anak dari fakultas lainnya kayak misalnya FMIPA. Perpustakaan disana cuma ramai menjelang ujian, atau oleh anak-anak yang lagi nyusun tugas akhir. Tempat yang sempurna untuk duduk diam, melamun dan merenungi kesalahan apa yang sudah gue buat sehingga hidup gue seperti nggak pernah bisa lepas dari yang namanya kesulitan.

Bukan berarti gue mengeluh. Hanya saja, kadang gue terlalu capek dengan keadaan. Gue nggak bisa terlihat rapuh di rumah, karena entah sejak kapan tanpa sadar gue telah mengambil peran sebagai satu-satunya yang bisa diandalkan dalam keluarga pasca kepergian bokap. Tapi lo tau, kadang, jadi yang terkuat itu nggak enak. Ada kalanya, orang yang terlihat nggak kenapa-kenapa justru adalah orang yang paling kenapa-kenapa.

"Makan lo kayak kuli." Faris berkomentar. Lagi. Setelah hampir dua puluh menit berada dalam ruangan yang sama, gue mulai merasa biasa dengan kata-katanya yang seringkali terasa menusuk telinga.

"Lo nyuruh gue makan. Gue makan. Nggak usah bawel, kecuali lo pangeran Inggris."

"Gue emang bukan pangeran Inggris, tapi gue bisa jadi pangeran hati lo." Faris berujar, lantas dia tertawa keras dengan nada tengil sesaat setelahnya. Gue melengos, mengalihkan pandang ke jendela besar di salah satu sisi tembok apartemen Faris. Langit sudah benar-benar gelap, dan temaram titik-titik cahaya lampu kota terlihat. Di balik kesuramannya karena tersaput debu, polusi dan kemacetan saban hari, Jakarta bisa terlihat cantik seperti penari yang baru bersolek.

Adrian nggak mengatakan apa-apa. Dia tetap bisu, meski matanya sesekali melirik gue. Gue sendiri juga nggak berniat mengajak dia bicara. Maka gue menikmati kesunyian itu, dan bagaimana dia bersikap seolah gue nggak ada. Gue berkonsentrasi menghabiskan gigitan demi gigitan dari makanan yang terhidang di atas meja, seraya menahan diri untuk mengerang kesakitan karena luka di sisi wajah. Gue harap, ketika gue pulang nanti nyokap dan Manda udah tidur. Jadi nggak perlu ada kepanikan yang dramatis.

Tepat saat gue sudah menelan gigitan terakhir burger, Adrian beranjak dari bangku yang dia duduki dan meletakkan sesuatu di atas meja. Sesuatu yang gue kenali sebagai ponsel gue. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Tidak ada satupun bagian keypadnya yang bolong. Benda itu nggak terlihat seperti ponsel butut yang gue ingat.

ROSE QUARTZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang