#11

71.3K 7.6K 1.1K
                                    

Dia terlalu sibuk menggambar sampai-sampai nggak menyadari keberadaan gue yang sudah memperhatikan tingkah lakunya sejak tadi. Menggambar adalah pengalih kedua dari segala rasa sakit, selain melihat liukan api. Orang mungkin berpendapat adik gue gila, tapi nggak. Dia nggak sinting. Dia hanya unik karena sarana relaksasi pilihannya berbeda dengan kebanyakan orang. Jika orang lain memilih menonton televisi atau membaca buku favorit untuk menghilangkan penat, Alamanda bisa membuang semua kecemasan dan rasa sakitnya hanya dengan menyalakan api. Bukan dengan tujuan destruktif seperti untuk membakar gedung, namun semata hanya untuk sebentuk rasa lega.

Atau mungkin itu semua berkaitan dengan memori masa kecilnya. Setiap kali dia berulang tahun, Ayah akan muncul tengah malam di ambang pintu kamarnya bertemankan kue dengan lilin yang menancap. Alamanda kecil mungkin mengasosiasikan api dengan keberadaan Ayah. Sebenci apapun gue sama orang itu, Manda nggak akan pernah bisa melupakannya. Dia masih kecil ketika Ayah pergi. Belum mengerti apa-apa. Mau seberapa sering gue merendahkan Ayah di depannya, Ayah nggak akan benar-benar hilang dari pikirannya.

Dan gue membenci diri gue sendiri karena itu.

Dering halus dari ponsel yang tergeletak di atas meja sesaat kemudian mengalihkan bukan hanya perhatian Manda, namun juga perhatian gue. Dia berhenti menggambar dan meraih ponselnya. Pasti ada pesan baru yang masuk, dan menilik dari senyum di wajahnya, gue bisa menebak siapa pengirimnya. Pasti Adrian.

"Jangan senyum kelebaran, nanti disangka orang nggak waras." Gue berujar geli seraya melangkah menghampirinya. Kepala Alamanda tertoleh, lalu tarikan bibir yang mengguratkan keceriaan itu tersungging. Senyum Alamanda selalu punya efek yang sama untuk gue. Rasanya hangat. Seulas gerakan bibir yang mampu menyalakan pendar lega dalam dada. Seperti rasa lelah tidak lagi terasa.

Gue menarik kursi di sebelahnya, melirik pada ponsel yang masih dia pegang. "Adrian?"

"Kok tau?" Alamanda mengangkat salah satu alis, tapi lantas dia tertawa. "Kak Adrian bilang gambarku bagus. Dia suka dan udah dia terima. Padahal gambar itu nggak sesuai keinginannya."

"He likes it. I can tell from the look in his eyes when he received your masterpiece."

Pipinya bersemu. "Masterpiece? Jangan ngeledek. Gambar itu jelek banget."

"You drew him in a good way. He looked like a demigod."

"Because he is indeed that perfect."

"I agree."

Kening Alamanda berlipat. "Tumben kakak langsung setuju sama aku?"

"Hm, karena Adrian memang perfect kan? Dia baik, dan terutama, dia punya penampilan kayak supermodel Calvin Klein.

"Kak Lea juga cantik."

"Dan maksud kamu ngomong gitu adalah?"

Hening sejenak. Alamanda seperti tengah ragu-ragu. Matanya sempat menghindari pandangan gue, tapi kemudian pada satu titik dia menarik napas. Ada sorot misterius berkejaran di lensa matanya yang cokelat gelap. Semburat penuh arti yang sulit gue terjemahkan. Astaga. Gue baru menyadari kalau Alamanda bukan lagi adik kecil berseragam kotak-kotak sekolah TK yang kerap gue gandeng setiap pulang sekolah. Dia sudah mendewasa. Sudah besar. Sudah bisa berpikir di luar batas kepolosan. Dan mungkin... mulai mengerti satu-dua hal dalam romansa.

"Kakak naksir Kak Adrian?"

Gue hampir tersedak. Meskipun gue nggak lagi makan atau minum.

"Kenapa kamu berpikir kayak gitu?"

"Enggak apa-apa."

"Kamu naksir sama Adrian?"

"I like him." Alamanda mengakui. "but not in a romantic way. Buatku, dia sama seperti Kak Lea. Kakakku. Aku kagum sama dia. Menghormati dia. Tapi berharap jadi sesuatu yang lebih dari itu? Well, enggak juga. He deserves someone more mature. Aku sama sekali nggak cocok buat Kak Adrian."

ROSE QUARTZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang