#09

75.5K 8.3K 1.4K
                                    

Saat gue sampai di rumah, Manda lagi sibuk di teras bertemankan lembaran kertas gambar tebal dan satu set watercolor dalam sebuah kotak cantik. Mata gue menyipit, sudah bisa menebak sudah barang tentu benda itu bukan berasal dari nyokap, atau tabungan Manda sendiri. Dia adalah tipe anak manis yang bakal jauh lebih memilih membelikan gue minuman isotonik daripada menyimpan sisa uang sakunya untuk membeli peralatan gambar baru. Jika dipikir-pikir, satu-satunya peralatan gambar yang Manda punya sebelum cewek itu berstatus sebagai mahasiswi hanya beberapa batang pensil dan selusin krayon tua yang dibeli kala dia masih duduk di sekolah dasar.

"Tadi kamu ketemu Adrian?" Gue langsung bertanya ketika perhatian Manda terpecah sejenak setelah dia mendengar suara langkah kaki gue di atas guguran daun-daun kering pohon jambu yang tumbuh di depan rumah.

"Kok kakak bisa tau?"

"Cat air bukan sesuatu yang akan Bunda hadiahkan untuk kamu." Gue tersenyum, lalu mata gue berpindah pada sebuah kartu berlukiskan siluet seorang gadis dalam gaun bernuansa violet yang terselip diantara lembaran kertas putih. Siluet itu indah, terkesan estetik karena guratan puisi pendek bermakna dalam disertai tulisan selamat ulang tahun di bawahnya. Sudah jelas, itu pasti dari Adrian.

"Iya."

"Dia bilang apa?"

Gue nggak langsung masuk, melainkan melepaskan ransel dari bahu dan meletakkannya begitu saja di atas bangku. Sekujur badan gue terasa lelah, persendiannya menjerit-jerit minta diistirahatkan sementara sisa debu dan keringat yang menempel dari aktivitas sepanjang hari membuat gue ingin buru-buru membasuh diri di kamar mandi. Namun entah kenapa, rasanya nggak apa-apa menunda segala kegiatan itu barang semenit hanya untuk melihat binar senang di mata Alamanda.

"Dia bilang selamat ulang tahun."

"He is really kind."

"Aku udah bilang ke kakak," Alamanda menghentikan gerakan tangannya yang semula sibuk menggoreskan kelabu granit pada kertas tebal di hadapannya. "Kak Adrian tuh emang baik. Kakak aja yang nggak mau percaya sama aku."

"Kamu bisa bilang begitu karena dia ganteng." Gue tertawa kecil seraya menyentuh ujung hidung Alamanda dengan jari telunjuknya, membuat senyum lebarnya langsung merekah. Mungkin konyol, tapi percayalah bahwa melihat senyum dari orang yang lo sayang bisa membuat rasa lelah lo seperti lenyap tanpa bekas.

"Cuma orang buta yang nggak bilang Kak Adrian ganteng."

"Tapi tetap saja, dia nggak seganteng itu."

"Meski begitu, Kak Adrian adalah laki-laki pertama selain Ayah yang bisa bikin Kak Lea senyum seperti kemarin malam. Iya kan?"

Ucapan Alamanda sempat membuat gue nyaris tercekat selama sepersekian detik, sebelum akhirnya gue menarik napas dengan gestur tak kentara diiringi senyum terpaksa. Satu hal yang nggak akan pernah gue mengerti dari adik gue sendiri adalah bagaimana dia punya hati yang begitu besar. Dia selalu punya ruang untuk memaafkan orang lain, nggak peduli seberapa besar kesalahan orang itu. Sejujurnya, gue adalah oposit dari karakternya. Gue bukan orang yang pemaaf. Ayah sudah membuat kesalahan yang meninggalkan lubang bukan hanya dalam hidup gue, tapi juga untuk Bunda dan Manda. Jenis kesalahan itu adalah sesuatu yang nggak akan pernah bisa gue maafkan sepanjang hidup.

Namun, merusak senyum yang ada di wajah Alamanda adalah hal terakhir yang ingin gue lakukan.

"Kak Lea?"

Gue menyahut dengan cepat. Agak sedikit kelewat cepat. "Iya?"

Senyap sebentar sebelum Alamanda menjawab. "Maaf."

"Kenapa kamu minta maaf?"

"Karena lagi-lagi aku ngebawa-bawa Ayah."

Gue menatapnya, lalu mengulurkan tangan untuk menyentuh pipinya. Halus. Masih sama tembemnya seperti yang terakhir kali gue ingat. Dia nggak pernah berubah sedikitpun. Waktu seperti tidak berlaku untuknya. Alamanda selalu seindah dan selembut arti dari namanya.

ROSE QUARTZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang