XXIII - Berhenti Mencari

107K 13.1K 1.8K
                                    

A/N : Tadinya mau nyisipin lagu Rainy Days on The Sidewalk-nya Mondo Gascaro tapi nggak ada euy di youtube :( yang punya Spotify, dengerin dari situ aja ya. Lagunya guri-guri nyoi kayak tahu bulet buat ngelatarin bagian akhir part ini wuekekeke.

***

Nadiana melihat foto yang dikirim Adin semalam. Foto Adin dan Althaf plus screenshoot LinkedIn. Ia bertemu Althaf di lobi kantor, berkenalan, minta foto bareng, serta akun LinkedIn Althaf. Gila. Fix! Teman-teman Nadiana udah gila. Mereka udah nggak peduli kelakuannya norak atau nggak, semua ini demi makan siang seminggu.

"Jal, Jal, Adin mulai bergerak! Gila tuh anak, mukanya udah tebel banget kali ya!" komentar Nadiana ke Ijal kala mereka sedang diperjalanan menuju bioskop untuk menonton film. Nadiana menyodorkan layar ponselnya ke depan wajah Ijal yang sibuk menyetir. Ijal menoleh untuk melihat foto yang ditunjukkan oleh Nadiana.

"Hahahaha... gila, gila! Kamu kapan mau mulai gerak?"

"Nanti, aku pikir dulu yang sensasional. Kalo semua bisa kenalan, basi dong ah taruhannya."

"Wah, gila! Sekarang kok kamu semangat sih? Hmm... semangat buat kenalan sama mas-mas Arab ya?" goda Ijal.

"Hehehehe... lumayan, Jal. Seger," ujar Nadiana sambil senyum-senyum genit.

"Wah, aku nggak jadi bantuin deh. Nanti kamu baper lagi," goda Ijal lagi sambil bercanda.

"Huuu... kemaren aja bilangnya! Nggak konsisten nih jadi cowok. Lagian kalo dia mau sama aku, belom tentu dia mau sisirin rambut aku, kutekin aku," cerita Nadiana pelan sambil mengalihkan pandangannya ke jendela. Ijal langsung cengengesan mendengarnya. Nggak nyangka, hal sepele kayak gitu ternyata masih diingat sama Nadiana. Dan yang bikin Ijal makin gemas, Nadiana langsung membuang mukanya begitu saja.

Baru mau membalas godaan Nadiana, ponsel Ijal berbunyi. Setelah melirik nama penelepon di layar, Ijal langsung mengangkat telepon tersebut.

"Ya, Mbak?" sapa Ijal di telepon. Nadiana melirik ke arah Ijal yang raut wajahnya kini berubah menjadi serius. "Hmm... oke. Ntar aku kesana deh, nemenin mereka," balas Ijal setelah mendengar balasan dari kakaknya.

"Di, sorry ya. Kayaknya kita nggak bisa nonton hari ini deh," ujar Ijal ke Nadiana setelah ia menutup telepon.

Nadiana menatap wajah Ijal yang berubah tidak ceria lagi. "Ada apa?" tanya Nadiana terdengar khawatir.

"Nggak, kakakku lagi pergi. Anak-anaknya cuma sama bibi yang jaga rumah, kasian sendirian. Jadi aku mau kesana nemenin. Aku antar kamu pulang dulu sebelum aku kesana. Sorry ya, Di. Sorry banget mendadak," ujar Ijal dengan kening berkerut dan alis yang turun karena merasa tidak enak pada Nadiana.

Nadiana terdiam sebentar. Rasanya kok ada yang berbeda dari Ijal. Wajahnya sudah tidak seceria tadi. "Rumah kakakmu dimana emang, Jal?" tanya Nadiana.

"Di daerah Cinere."

"Aku ikut aja deh, gimana? Daripada kamu muter-muter?"

"Kamu yakin mau ikut?" tanya Ijal setengah tak percaya. "Kamu ... nggak malu ketemu keluargaku? Ya, kakak-kakakku nggak ada sih. Palingan keponakanku doang."

"Nggak pa-pa," jawab Nadiana santai. "Emang keponakanmu umur berapa, Jal? Cewek apa cowok?"

"Cewek dua-duanya. Yang satu umur 5 tahun, yang satu lagi umur 3 tahun. Beneran nggak pa-pa? Nanti kalau mereka nakal sama kamu gimana?" tanya Ijal masih seolah tak percaya.

Nadiana hanya tertawa mendengar pertanyaan itu.

***

Mereka akhirnya membatalkan acara nonton dengan mampir ke rumah kakak Ijal di daerah Cinere. Rumah kakak Ijal berada di sebuah townhouse yang berisikan 12 rumah di dalamnya dengan gaya bangunan yang seragam. Rumah bergaya minimalis itu bercat putih yang dipadukan dengan nuansa coklat dan krem. Begitu manis bagaikan rumah boneka. Tidak berpagar dan halaman depannya mungkin tidak terlalu besar, tetapi rumputnya hijau sekali. Membuat halamannya yang kecil itu terlihat asri. Apalagi dengan adanya pot-pot berisi tanaman hias yang mempermanis teras serta pohon bunga kamboja merah di pojoknya.

Red CherryWhere stories live. Discover now