XVI - Ketika Semesta (Tak) Berpihak

82.8K 11.2K 1.3K
                                    

"Lo kenapa sih, Jal, kok seharian ini kayak diem aja? Lo bete sama gue?" tanya Nadiana ketika ia dan Ijal sudah duduk manis di sebuah warung sate dekat rumah Nadiana.

"Kalo gue bete sama lo, gue nggak ngajak lo makan, Didi," jawab Ijal santai.

Iya sih, benar juga. Tapi kayaknya di kantor tadi Ijal kayak beda banget.

"Biasanya gimana emang?" tanya Ijal ketika Nadiana tidak membalasnya lagi.

"Pecicilan. Iseng. Caper. Berisik."

Ijal tertawa mendengar jawaban Nadiana. "Cieee kehilangan ya?" goda cowok itu sambil mengerling genit.

"Nggak! Ish! Cuma gue jadi ngerasa nggak enak aja!"

"Lagian kalo gue bete, emang bete kenapa, Di?"

Soalnya temen-temen gue godain gue sama Aidil, gitu nggak, Jal?

"Hmm yaa nggak tau. Kali lo lagi ada masalah," malah itu yang dijawab Nadiana.

Ijal tertawa kecil. "Sama kayak lo, sebenernya ini juga rasanya aneh buat gue. Jadi kalo di kantor gue kayak jadi bingung harus gimana."

"Ya kan? Ini semua aneh rasanya!" Nadiana kayak nggak percaya, ternyata Ijal juga merasakan hal yang sama dengannya. Mungkin benar kata orang, perasaan khusus di antara dua teman yang berbeda gender memang seringkali merusak segalanya.

"Aneh-aneh enak gimana gitu sih, Di," goda Ijal. Nadiana jadi tertawa. Jijik sih sebenarnya Nadiana dengarnya tapi sekaligus geli.

Tak lama sate pesanan mereka datang. Obrolanpun terhenti untuk menikmati makanan yang disajikan di depan mereka.

"Didi, lo emang suka sama Aidil ya?" tanya Ijal tiba-tiba.

Nadiana terdiam sebentar. Suka? Ya sih.

"Sebenernya bukan suka yang gimana-gimana sih. Lha dia ganteng. Semua juga suka," jawab Nadiana sekenanya.

"Iya sih, gue kalo jadi cewek juga suka sama dia."

Nadiana langsung tertawa lepas mendengar jawaban polos Ijal.

"Gue kalo jadi lo, disuruh milih gue apa Aidil juga pasti milih Aidil sih," jawab Ijal lagi sambil cengengesan.

Nadiana tertawa semakin keras mendengarnya. "Emang gans sih tuh orang. Mana kalo ngomong kayak baiiik banget gitu. Duh, berasa ditenangin gue," curhat Nadiana begitu saja.
(Baca: gans = ganteng)

"Apa sih, lebay banget!"

"Hahahahaha... ih, beneran tau!"

"Ya, apalah gue yang butiran debu karpet ini. Keliatan juga nggak, tau-tau udah di vacuum," timpal Ijal dengan santai. Sebenarnya nggak ada nada minta dikasihani, malah nadanya kayak lagi ngenyek.

Tawa Nadiana perlahan berubah menjadi senyuman. Sebenarnya kalau mereka ini keadaannya kayak dulu, Nadiana akan tetap tertawa keras dan menambahkan ejekan untuk Ijal. Tapi karena Nadiana tahu ucapan Ijal itu sedikitnya ada sindiran di dalamnya, jadilah tawanya itu perlahan hilang.

"Ijal, jangan ngomong gitu. Setiap orang punya pasarnya sendiri-sendiri. Lo hanya perlu menentukan target market yang pas," ujar Nadiana dengan setengah bercanda.

Ijal tertawa kecil mendengar ucapan Nadiana. Ia senang mendengarnya. Nadiana menanggapinya dengan bercanda namun Ijal dapat merasakan semangatnya. Sehingga suasana tidak berubah menjadi canggung. Sesungguhnya saat itu Ijal setengah mati berusaha menahan diri untuk tidak menyentuh Nadiana barang sejengkal pun. Karena dalam dirinya, efek hormon penebar kebahagiaan seperti membangunkan monster dalam dirinya yang senantiasa berbisik untuk menarik Nadiana ke dalam pelukan.

Red CherryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang