XV - A Chance

87K 11.3K 1.2K
                                    

Nadiana berjalan beriringan bersama Maysa, Celine, dan Rieke ketika akan masuk lift untuk keluar makan siang. Ketika pintu lift nyaris tertutup, seseorang menahannya. Ijal dan Zidan masuk ke dalam lift.

"Eh, ada Ebony..." gumam Ijal sambil cengengesan. Nadiana hanya senyum sekenanya. Lalu cowok itu tidak menggubrisnya lagi.

Mendengar panggilan itu sekarang rasanya aneh. Kalau dulu Nadiana cuma sebal mendengarnya karena terdengar seperti ledekan, sekarang terdengar aneh kalau Ijal yang mengucapkannya. Karena Nadiana tahu, dibalik candaan itu ada sesuatu yang tersirat.

Di lobi, Fanya dan Adin sudah menunggu Nadiana, Maysa, Celine, dan Rieke. Bersama Aidil dan Andre.

"Eeeh... Mas Aidil baru keliatan lagi. Mau makan dimana?" tanya Maysa dengan nada rumpi. Nada yang Nadiana pahami pasti ada maksud tertentu. Apalagi kalau bukan godain Nadiana!

"Nggak tau nih Fanya," jawabnya sambil tersenyum. Nada bicaranya itu terdengar tenang dan ramah. Ya, mau Nadiana berusaha nggak ngarep, tetap aja suaranya Aidil itu bikin Nadiana serasa kena hawa sejuk sehabis hujan. Adem beneeerrr! Kayaknya kalo lagi stress karena kerjaan terus dengerin Aidil ngomong, walaupun bukan ngomong sama Nadiana, bawaannya jadi tenang dan nggak stress lagi.

"Didiii ternyata Mas Aidil mau makan sama kita!" seru Maysa dengan mulut kaleng rombengnya itu. Ah, tau banget Nadiana, emang sengaja dia! Dasar bocah iblis!

"Iya, denger gue. Nggak perlu keras-keras ngomongnya kayak toa masjid!" jawab Nadiana. Penginnya sih jewer kuping anak itu, tapi Nadiana menahan diri.

Tak sengaja Nadiana melihat Ijal berjalan melewati Nadiana dan teman-teman. Nadiana bisa melihat mata Ijal yang daritadi mengarah padanya. Lalu cowok itu memalingkan wajahnya dari Nadiana dan menatap lurus ke depan. Ekspresi wajahnya datar. Tak bisa Nadiana tebak.

***

"Gue nggak keberatan kok kalo nyokap lo mikir yang nggak-nggak kalo dia liat gue nyamperin lo ke rumah."

"..."

"Kalo perlu besok-besok gue nyamperin lo lagi, biar nyokap lo makin mikir yang nggak-nggak."

Nadiana terdiam sejenak mencoba mencerna semua perkataan Ijal. Ia bingung harus merespon seperti apa. Bibirnya mendadak terasa kelu.

"Umm... Ijal... gue pikir... selama ini... lo... cuma bercanda," ujar Nadiana akhirnya.

"Hmm... sebenernya... gue bercanda karena gue pikir gue nggak akan punya kesempatan. Tapi... tiba-tiba gue merasa... sepertinya gue bisa punya kesempatan itu," jawab Ijal pelan dan terdengar berusaha tenang.

Nadiana diam lagi. Ia bingung.

"Gue nggak... hmm... apa ya? Gue cuma minta izin... untuk diberi kesempatan. Maksud gue... hmm... jangan tutup pintu gitu," ujar Ijal lagi mengutarakan sesuatu yang berputar-putar dalam kepalanya sedari tadi.

Nadiana masih terdiam, menelisik kedua mata Ijal. Lalu perlahan berkata, "Ijal, ini cuma... hmm rasanya aneh aja. Kita kan temen kerja."

"Iya, tau sih. Pasti aneh rasanya buat lo."

"Gue... sejujurnya nggak tau harus gimana. Gue... nggak bisa janjiin apa-apa. Tapi... um... Sebenernya, gue nggak pernah menutup pintu untuk siapapun sih.

"Gue senang berteman dengan lo. Lo orang yang menyenangkan untuk diajak bercanda, diajak cerita. Cuma untuk lebih dari itu... hmm... gue masih nggak tau," ungkap Nadiana jujur. Nadiana menggigit bibirnya bagian bawah. Sungguh, dia sendiri bingung dan tidak mengerti dengan perasaannya sendiri.

Red CherryWhere stories live. Discover now