XII - Skinny Love

89.7K 11.2K 932
                                    

Akhir bulan kali ini mungkin akhir bulan paling melelahkan buat Nadiana. Karena menjelang akhir tahun perusahaannya mengadakan kontes untuk agen-agen agar berlomba-lomba mencapai (bahkan kalau bisa melampaui) target. Itu artinya divisi Nadiana bakal dikejar dan diperas habis-habisan demi mencapai target bulanan. Nggak heran kalau hampir setiap hari beberapa minggu terakhir ini anak-anak Operations lembur. Apalagi bakal ada produk baru yang dipersiapkan tim Produk menjelang akhir tahun. Ugh, ini artinya never ending task abis buat Nadiana.

Aidil menghampiri Nadiana membawa beberapa dokumen yang diminta Nadiana sebelumnya lewat telepon. Aidil juga hampir senasib dengan Nadiana, dia harus kejar target bulanan. Makanya mereka kudu kerjasama.

"Sorry ya, Di. Banyak banget ya recap dokumennya. Gue sengaja ngumpulin biar jadi satu semua, biar lo nggak bolak-balik liat checklist lo lagi," ujar Aidil yang merasa tidak enak sudah merepotkan.

"Nggak pa-pa. Malah kalo gini lo juga nggak bolak-balik terus," balas Nadiana singkat. Aidil tidak beranjak dari bangku samping Nadiana. Dia malah membuka laptopnya dan mulai bekerja disitu. Ngapain coba? Nungguin kerjaan Nadiana gitu?

"Lo ngapain deh disitu?" tanya Nadiana. "Ini aplikasi-aplikasi nasabah agen lo bisa gue kelarin hari ini kok. Jadi nggak usah ditungguin."

"Eh? Nggak. Santai aja, Di. Nggak harus semua hari ini kok."

"Huu... tapi kalo dibesokin makin numpuk nanti!"

"Hehehe iya sih."

Aidil nampak berpikir sejenak. "Mau cari makan nggak? Atau lo mau nitip apa gitu? Gue mau cari makan malem nih," ujar Aidil lagi ke Nadiana.

"2 case nanti gue nyusul deh? Gimana?" tanya Nadiana bernegosiasi. Iya sih, dia juga lapar dan butuh break.

"Ya udah, gue tungguin aja. Gue juga bales-balesin email dulu sama ngerapihin report."

Keduanya pun kembali ke pekerjaan masing-masing. Sejak Nadiana menguping pembicaraan Aidil dan Andre waktu itu, degup jantungnya kalau di dekat Aidil sudah tidak serusuh dulu. Mungkin karena Nadiana akhirnya berhasil mendikte pikirannya untuk tidak berharap lebih pada Aidil, sudah tidak pernah mencari-cari kesempatan untuk ketemu sama Aidil. Tapi kalo dalam kasus pekerjaan gini, ya dia mana mungkin menghindari. Lagipula mana tega juga dia menolak orang yang minta tolong padanya. Nggak cuma sama Aidil aja. Pada teman-temannya yang lain juga.

Saat berjalan bersama Aidil untuk turun ke bawah, Nadiana melihat Ijal masih bekerja di mejanya juga. Tumben.

"Jal, kok belum pulang?" tanya Nadiana. Entah kenapa Nadiana pengen nanya aja.

"Iya, masih ada kerjaan."

Nadiana hanya manggut-manggut. Ketika hendak beranjak dari sana, Nadiana menahan langkahnya dan menghadap ke Ijal lagi. "Gue sama Aidil mau makan. Mau ikut nggak?"

"Nggak, makasih, Di."

"Mau nitip?"

"Nggak usah repot-repot," ujar Ijal terdengar sungkan. Lalu tiba-tiba Nadiana tersadar akan sesuatu. Ngapain juga sih dia sok care gitu sama Ijal? Biasanya juga Ijal kalo laper malem-malem cari makan sendiri. Ijal lembur juga bukan hal biasa.

***

"Gue dulu nggak ditempatin di Jakarta. Pernah di Semarang, terus di Surabaya," cerita Aidil ketika mereka mengobrol tentang pengalaman kerja Aidil sebelumnya.

"Terus pas balik ke Jakarta, sebel nggak sama macetnya?" tanya Nadiana sambil mengaduk-aduk mie gorengnya.

"Hahahaha nggak juga sih. Kata siapa luar kota nggak macet? Cuma mungkin karena Jakarta ini kota megapolitan jadi berasa banget kali yaa durasi macetnya kalo ke daerah-daerah pinggiran kota. Makanya gue lebih suka naik motor kalo hari kerja. Bisa lewat jalan-jalan kecil buat motong jalan."

Red CherryWhere stories live. Discover now