"Angkringan Lik Man. Pernah denger?"

Mata Azalea menyipit. "Kayaknya pernah. Tapi kok lo bisa tau? Katanya udah lama banget sejak terakhir kali lo ke Jogja?"

Adrian nyengir. "Gue punya informan yang masih kerabatan sama keraton."

"SIAPA?"

"Hehehe. Kalau dikasih tau juga kayaknya lo nggak akan nyangka." Cowok itu terkekeh. "Tapi kayaknya kita masih harus jalan agak sedikit lebih jauh. Keberatan?"

Azalea mengerutkan dahi. Apakah pertanyaan Adrian itu benar-benar pertanyaan? Soalnya kalau dipikir pakai logika, mana ada cewek yang menolak diajak jalan kaki bareng seorang Adrian Cetta Arsenio? Like, sumpah deh, kayaknya jarak Anyer – Panarukan juga nggak akan kerasa kalau dilalui bersama Adrian. Hasik. Kenapa dia jadi berpikiran ala-ala anak salah gaul begini.

Tapi ya begitulah. Kalau sudah ada di dekat Adrian, kayaknya sulit berpikir menggunakan akal sehat. Bawaannya pengen menjerit mulu setiap kali cowok itu gerak.

"Asal sama lo sih," Azalea menyahut dengan ragu-ragu, berusaha keras menutupi rona merah yang hampir-hampir muncul di wajahnya. Dalam hati dia berdoa semoga keremangan cahaya mampu menyamarkan ekspresinya dari pandangan mata pria itu. "gue oke-oke aja."

Adrian tersenyum. Manis. Membuat Azalea yakin jika mungkin di kehidupan sebelumnya, dia adalah pangeran paling tampan dari sebuah dinasti terkuat di sebuah negeri. "Lo bisa percaya sama gue."

Duh. Azalea pusing.

***

Tempat itu ramai ketika mereka tiba. Meskipun bentuknya tidak jauh berbeda dengan gerobak pedagang kaki lima yang biasa menyemut di setiap tepian ruas jalan protokol ibukota, entah kenapa suasana yang terasa begitu berbeda. Azalea menyadari beberapa orang sempat menolehkan kepala walau hanya sepersekian detik ketika mereka tiba—dan tentu saja, dia paham kenapa. Itu semua karena Adrian. Tidak akan ada seorang pun yang percaya jika Adrian bukan orang berdarah campuran. Tampilan fisiknya begitu khas, dengan tinggi yang melampaui rata-rata tinggi orang Indonesia. Azalea bersyukur dia terlahir dari kedua orang tua yang tidak pendek-pendek amat, karena jika tinggi badannya sedikit lebih pendek lagi, mungkin dia akan terlihat seperti liliput di samping cowok itu.

Mereka mengambil tempat duduk agak di sudut, sengaja mengambil jarak dari sekumpulan pria setengah baya berpenampilan nyentrik yang Azalea tebak adalah seniman. Atau mungkin penyair. Mereka memesan kopi hitam yang sudah bercelup arang, sibuk berdiskusi entah apa. Sebagian besar obrolan tentang carut-marut politik negeri, atau guyon satir yang membuatnya mau tidak mau menahan senyum. Ah ya, begitu ironis. Seperti bercermin dan tertawa karena melihat buruknya bayangan milik sendiri.

"Lo mau makan apa?"

Azalea hampir tergagap. "Hah?"

Adrian menatap gadis itu, lalu tertawa. Kilau iris matanya yang cokelat madu hampir-hampir membuat Azalea lupa akan eksistensi oksigen. "Lo mau makan apa, hm?"

"Apa aja."

"Yaudah, ini aja." Adrian meraih sebungkus nasi kucing dengan label empat huruf lalu menyorongkannya pada Azalea.

"Ayam?"

"Karena kayaknya lo nggak suka jeroan dan dibandingkan bakso atau teri, lo bakal milih ayam?"

Azalea mendelik. "Sejak kapan lo bisa baca pikiran?"

Adrian tersenyum. Untuk yang kesekian kalinya. "Gue bener kan? Terus lo mau minum apa? Kopi juga?"

"Dikasih arang?"

"Terserah. Lo mau coba?"

"Enak?"

ROSE QUARTZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang