[Dua Puluh Tiga]

1.4K 154 6
                                    

Selamat membaca~

Satu bulan telah terlewati, kini (Namakamu) dan teman-teman sudah memasuki tahun ajaran kedua.

Banyak hal yang mereka lewati selama satu bulan mereka berlibur. Entah berjalan-jalan ke Mall, ke Cafe, ke tempat yang biasa mereka tongkrong, atau bahkan ikut menyaksikan penampilan CJR di acara-acara TV.

Hari ini, hari masih terlalu pagi untuk menjalani rutinitas rutin setiap harinya. Karena, sekarang waktu masih menunjukkan pukul 5 pagi. Dan (Namakamu) sudah bangun.

Entah sejak kabar kedekatan Zidny dan Iqbaal–kekasihnya–tersebar, (Namakamu) jadi lebih terlihat diam dan sering kali melamun di waktu tertentu.

"(Namakamu) ...," panggil seseorang bersamaan dengan pintu kamar (Namakamu) yang terbuka.

(Namakamu) menoleh, lalu tersenyum setelah tahu bahwa Bundanya-lah yang memanggil, "Bunda? Ada apa, Bund?"

Bunda (Namakamu) berjalan menghampiri putrinya. Kemudian, tangannya yang sedikit berkeriput karena termakan usia itu mengelus puncak kepala (Namakamu) dengan lembut, "Kamu kenapa? Tumben jam segini udah bangun."

(Namakamu) menggeleng sebelum tersenyum manis menanggapi pertanyaan Bundanya.

Kring ... Kring ....

Suara alarm berbentuk hellokitty milik (Namakamu) berdering memecah kesunyian. Hal itu membuat (Namakamu) dengan segera meraih alarmnya. Satu kali tepukan saja alarm itu sudah berhenti.

"Alarm kamu udah bunyi. Kamu ambil Wudhu, gih, terus salat subuh. Kamu belum salat 'kan?" tanya Bunda (Namakamu) lembut.

(Namakamu) menggeleng, lalu kakinya ia luruskan untuk menggapai lantai. Memang sejak tadi ia duduk bersila di atas kasurnya.

"Ya sudah, Bunda keluar, ya. Kalau udah siap, kamu langsung turun dan sarapan." Setelah mengatakan itu, Bunda (Namakamu) beranjak dari duduknya dan pergi meninggalkan (Namakamu) di kamar.

Setelah tubuhnya dirasa sudah berdiri tegap, ia merasakan beban di kepalanya bertambah. (Namakamu) merasa kepalanya begitu berat dan tidak bisa menopang tubuhnya. Dengan refleks tangannya memegang pinggiran kepala kasur.

Ada apa dengan dirinya? Sejak kemarin (Namakamu) merasa ada yang tidak beres dengan tubuhnya. Tidak mau ambil pusing, lebih baik ia segera ke kamar mandi untuk mengambil Wudhu. Semoga air Wudhu yang mengalir pada tubuhnya dapat meredakan rasa pusingnya.

Setelah dirasa semua siap, (Namakamu) melengangkan kaki jenjangnya untuk ke luar kamar. Menuruni anak tangga satu persatu hingga kakinya menginjak lantai dasar di rumahnya.

Bunda (Namakamu) sedang menyiapkan sarapan di ruang makan. Di sana sudah ada Ayahnya dan juga Henni.

Semenjak adanya Henni di dalam kehidupan (Namakamu), semua berubah. Kasih sayang kedua orang tua (Namakamu) terbagi dua. Kasih sayang kedua sahabatnya pun terbagi dua. Bahkan perhatian semua guru di sekolah lebih terpusat kepada Henni.

Dulu sebelum ada Henni di rumah ini bahkan di kota ini. Kehidupan (Namakamu) terasa sangat damai. Tetapi, sekarang berubah. Tidak, (Namakamu) tidak benci terhadapnya. Hanya ... kecewa.

"Sayang, kamu sudah siap, Nak?" tanya Bunda (Namakamu) ketika (Namakamu) tiba dan menarik kursi terdekat untuk ia duduki.

(Namakamu) mengangguk kecil. Tangannya beralih meraih piring kecil dan menaruh satu roti tawar kemudian mengolesinya dengan selai cokelat kesukaannya.

"Hari ini, Ayah dan Bunda akan pergi ke rumah Nenek." Suara bariton khas Ayah memecah keheningan. Hal itu membuat aktivitas sarapan hari ini tertunda.

"Kenapa?" tanya (Namakamu) bingung, tangannya yang sudah siap untuk menyuapkan roti ke dalam mulutnya terhenti di udara.

"Lho, memangnya kenapa?" tanya Ayah (Namakamu) balik.

(Namakamu) menggeleng singkat dan menyudahi sarapannya. "(Namakamu) berangkat. Assalmu'alaikum."

Di perjalanan menuju sekolah, (Namakamu) lebih banyak melamun. Tidak cukupkah kemarin orang tuanya meninggalkannya sendirian bersama Henni? Dan sekarang mereka harus pergi lagi?

Apa yang ada di pikiran mereka sebenarnya? Apa dia tidak melihat bahwa (Namakamu) sekarang sedang merasakan sakit?

Dari arah belakang (Namakamu) mendengar ada suara deru motor yang mendekat dan berhenti tepat di belakangnya. Kepalanya ia tolehkan untuk memastikan siapa yang ada di belakang.

Setelah melihatnya, (Namakamu) tersenyum kepada orang tadi, "Hai, Ban."

Ya, orang tadi adalah Arbani teman kecil (Namakamu) yang sekarang bersekolah di sekolah yang sama dengan (Namakamu).

"Kok, lo jalan, (Nam..)?" tanyanya bingung, lalu turun dari motornya dan men-standar-kan(?) motornya.

"Nggak apa-apa. Lagi pengin jalan aja," jawab (Namakamu) setelah menggeleng dan tersenyum.

"Muka lo pucet, lo sakit?" tanya Arbani lagi. Ada nada khawatir di sana. Tangannya yang kekar terangkat untuk menyentuh dahi (Namakamu). "Shh, panas. Lo sakit, (Nam..). Kenapa sekolah, sih?"

(Namakamu) menggeleng dan mengibaskan tangannya di udara. "Gue nggak apa-apa."

"Tapi 'kan badan lo panas gini. Mendingan lo pulang terus istirahat," ucapnya lembut.

"Gue nggak apa-apa. Udahlah, lo nggak usah khawatir." Setelah mengatakan itu, (Namakamu) berbalik dan berjalan dengan cepat meninggalkan Arbani.

Abani terkejut dengan segera ia menarik lengan (Namakamu). "Yaudah. Lo berangkat bareng gue."

(Namakamu) tampak berfikir sejenak, selang beberapa detik kepalanya turun ke bawah lalu ke atas kembali. Itu artinya ia mengiyakan ajakan Arbani. Lagi pula ia sudah mulai lelah sedari tadi berjalan.

***

"Makasih, ya, Ban," kata (Namakamu) ketika mereka sudah berada di area parkir sekolah. "Kalau gitu, gue duluan ya."

(Namakamu) melambaikan tangannya kepada Arbani, lalu berlari kecil meninggalkan Arbani.

Suasana kelas masih sepi, dikarenakan saat ini jam masih menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Dan jam masuk berdering diperkirakan sekitar satu jam lagi.

(Namakamu) memilih untuk duduk di tempatnya dan menenggelamkan kepalanya di atas lipatan tangan.

Baru saja (Namakamu) memejamkan mata, dari arah luar kelas terdengar seseorang berlari dengan terburu-buru memasuki kelas.

"(Namakamu)!!!" teriak seseorang diikuti dengan suara-suara kursi yang bergeser. Sepertinya didorong dengan paksa oleh si peneriak karena telah menghalangi jalannya.

Dengan malas (Namakamu) mendongakkan kepalanya dan menatap orang tadi. "Kenapa?"

"Lo tadi berangkat bareng kakak kelas ganteng?" tanyanya pada (Namakamu) dan duduk di samping (Namakamu).

(Namakamu) menaikkan satu alisnya, lalu sedetik kemudian ia membulatkan mulutnya. Dan mengangguk tanda mengiyakan pertanyaan salah satu dari temannya–Karina.

"Lo kenapa?" tanya Karina lagi. Kali ini ada nada khawatir yang tersirat di sana.

(Namakamu) menegakkan duduknya dan menatap mata Karina, lalu tersenyum.

"Muka lo pucet, lo sakit?" Karina menaruh telapak tangannya di dahi (Namakamu). "Astagfirullah, lo panas!" pekik Karina khawatir.

"Shh, gue nggak apa-apa, Karina," ucap (Namakamu) pelan.

Karina menggeleng tidak setuju. "Nggak! Lo itu lagi sakit. Mendingan lo ikut gue ke UKS." Karina menarik pelan tangan (Namakamu). Tetapi, belum saja ia berdiri dari tempat duduknya. Karina mendengar lirihan kesakitan milik seseorang. Dengan refleks ia menoleh ke arah (Namakamu). "(Namakamu), lo kenapa?!"

Bersambung ....

Hallo!! Aku balik lagi. Ada yang kangen? Et, maksudnya sama cerita ini. Hehehehe.
Maaf, ya, kalau pendek. Vomments-nya jangan lupa, ya.

Stay With Me [IDR] /SLOW UPDATE\Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang