Yang aku tau tentang kedua orangtua Jamie, hanyalah kematian mereka yang tragis. Keduanya begitu harmonis dulu. Ibu Jamie sangat cantik, sementara Derek ramah dan baik walaupun kadang-kadang dia menakutkan, karena tingginya yang menjulang dibandingkan aku yang hanya sebatas kakinya saat kecil dulu.

Derek pernah membantu Anita membenarkan pagar kami yang berderit, karena tau tidak ada sosok laki-laki dirumahku. Dia memang sedikit kasar, suaranya besar bahkan saat dia sedang tidak marah sekalipun, kadang-kadang aku pernah melihatnya memarahi Jamie, tapi kurasa itu masih dalam batas wajar seorang ayah mendidik anak.

Aku tidak tau apa yang merubah rasa cinta Derek pada istri dan anaknya, hingga sanggup mengakhiri hidup mereka berdua. Meninggalkan buah cinta mereka seorang diri dalam prosesnya.

Beberapa minggu lalu, saat aku mendengar Ibu menceritakan rangkuman kisah Jamie yang kulupakan, aku nyaris tidak percaya. Karena rasanya tidak mungkin hal sekejam itu dilakukan olah Ayah Jamie yang mengantarkan anaknya ke sekolah setiap hari dengan penuh senyum bangga. Membuatku iri setengah mati.

Tapi tidak ada alasan yang lebih logis lagi untuk menjelaskan kenapa Jamie bisa sesedih malam itu, saat tanpa sengaja aku menyamakannya dengan Ayahnya.

Dan sekarang mendadak aku bermimpi hal seperti itu. Padahal aku tidak pernah memikirkannya sama sekali.

Pikiranku terlalu sibuk menerima perasaan Jamie yang mencintaiku, dari setiap sentuhan yang dia lakukan, seolah aku adalah hal paling berharga dalam hidupnya. Dia selalu berhenti untuk melihat ekspresiku, tubuhku, menatapku seperti wanita paling cantik yang pernah dia lihat.

Rasanya tidak mungkin aku punya waktu untuk memikirkan hal depresi seperti itu.

Segera setelah debaran jatungku mulai lebih tenang. Aku mulai beringsut turun menuju kamar mandi untuk membasuh wajah dan kembali berpakaian. Baru saja aku akan pergi menyusul Jamie, namun dia sudah kembali.

"Dia sudah tidur lagi?" tanyaku.

Jamie mengangguk. "Dia haus." Jawabnya. Berjalan ke depanku dan menarikku ke dalam pelukannya. "Kau sendiri bagaimana? Sudah merasa lebih baik? Mau menceritakan mimpimu padaku?"

"Aku tidak yakin apa kau mau mendengarnya." Kataku ragu, sedikit menjauh untuk melirik wajahnya yang tidak mengerti. Kembali terningat bagaimana ekspresi Jamie waktu tanpa sengaja aku menyinggung soal Ayahnya.

"Memangnya mimpi apa sampai berhasil membuatmu menangis?" keningnya berkerut.

"Aku sudah lupa." Dustaku lancar. "Yang ku ingat cuma, perasaanku jadi sedih setelah mimpi itu."

"Kalau kau mimpi buruk lagi, bangunkan aku oke?"

"Iya... sekarang kita tidur lagi saja ya?"

Bibirnya melengkung membentuk senyum kecil untukku. Sebelum akhirnya Jamie mengangguk.

Aku menariknya kembali ke ranjang. Jamie menyelimuti kami berdua, sebelum ikut merebah di sebelahku.

Aku memperhatikan wajahnya dan teringat kembali dengan wajah Derek dimimpiku. Jamie tidak tau apa yang terbesit dalam benakku saat dia juga melakukan hal yang sama.

"Jamie..."

"Ya?"

"Kau masih sering ingat orangtuamu tidak?" tanyaku pelan. Ragu-ragu, karena tidak ingin membuatnya marah atau sedih.

Chasing MemoriesWhere stories live. Discover now