●○ 19 : Hurt ○●

1.2K 172 14
                                    

"Eomma..."



"D-Dokyeom-ah..."

Ruangan itu lengang. Kedua manusia yang ada di dalamnya sama-sama tak dapat berpikir jernih.

Siapa yang ingin memulainya kali ini?

Dokyeom ....

... atau eommanya?

Sepertinya ujungnya akan sama. Mereka akan sama-sama tersakiti.

"Itu tadi apa?"

Dokyeom mencoba tenang. Mendinginkan kepalnya agar tidak tersungut emosi sendiri.

Satu-satunya wanita yang ada di sana juga membisu.

Jika ia mengungkapkan yang sebenarnya, makan semua selesai.

Tapi, percuma saja menghindar kalau anaknya itu telah mengetahui semuanya. Akibat dari kecerobohannya.

"G-geugo..."

Ayolah, manusia mana yang bisa dengan mudah mengakui kesalahannya.

"... kau mendengar sampai―"

"Modeungeolyo" (Semuanya)

Bukannya ia tak sabar. Dokyeom memang mendengar semuanya.

Ya, semua kebohongan itu. Bahkan sejujurnya ia tak begitu terkejut karena sudah merasakan hal aneh dengan kedua orang tuanya.

Hanya saja, ia ingin mendengar penjelasan itu secara langsung.

Selengkapnya.

"Jeongmal mianhanda, Dokyeom-ah" suaranya terdengar sangat lemah. Berbeda dari pribadinya yang cerah.

"Eomma tidak bermaksud menyembunyikan identitasmu. Waktu itu, kami tidak menyangka akan membuatmu celaka. Jadi, kami memutuskan untuk merawatmu sebagai ganti karena telah menghancurkan hidupmu"

Menghela napas, memejamkan mata, rasanya tidak cukup untuk menghilangkan cemas wanita itu. Cemas jika saja ucapannya akan berakibat fatal.

"Kau tumbuh dengan baik. Walaupun kau tumbuh sebagai orang lain, tapi aku bersyukur kau ada disini. Sebagai anakku. Meskipun hanya untuk saat ini"

"Lalu siapa aku? Siapa aku sebenarnya eomma?"

Bagi wanita itu, ini tak ada bedanya dengan membunuhnya secara perlahan. Ia harus membuka kulit yang telah ia susun sedemikian rupa.

"Mianhae... Seokmin-ah. Lee Seokmin" setets air mata jatuh di kedua pipi wanita itu.

Dan semuanya selesai.

Perannya untuk menjaga anak itu berakhir disini.

Lee Seokmin


□ • □ • □ • □ • □

"Yuju-ya, bisa kita bicara sebentar"

Kelas hari itu baru saja berakhir.

Yuju terpaksa menganggukkan kepalanya. Mungkin hanya sebentar tidak masalah, ia akan ke bandara beberapa jam lagi.

Yuju membereskan buku-bukunya dan mengikuti Dokyeom dari belakang.

Tidak biasanya lelaki itu membiarkannya berjalan sendiri.

Mereka berhenti di halaman belakang sekolah. Tidak terlalu ramai karena sekolah baru saja berakhir.

"Aku tidak akan berlama-lama,"

Dokyeom membiarkan Yuju duduk di bangku dan berdiri di hadapan gadis yang kini mendangak menatapnya.

"Katakan sejak kapan kau tahu semua tentangku? Tidak, kenapa kau tidak mengatakan semuanya sejak awal. Kau mengenalku, kau pernah bertemu denganku, kau mengetahui semua ingatanku, atau apapun itu"

Apa dia bilang? Dia bercanda? Kenapa tiba-tiba...

"Yuju-ya, jebal daedaphaejwo. Jinsimiya" (Jawab aku, serius)

"An-ninde. Neon imi modeunge da gieoghane?" (Kau sudah mengingat semuanya?)

"Kau menungguku mengingat semuanya baru kau mengatakanya?"

"Dokyeom-ah―"

"Kenapa waktu itu kau bilang kau akan membantuku padahal kau juga menyembunyikan semuanya"

Yuju diam.

Membiarkan Dokyeom mengeluarkan semua emosinya dulu. Walaupun telinga dan hatinya terasa panas, ia harus mendengarkannya.

"Aku tidak tahu seberapa besar rasa sayangku padamu dulu. Tapi untuk sekarang, aku benar-benar kecewa untuk saat ini. Kau tahu, dibohongi oleh seorang yang mungkin menjadi satu-satunya orang kau percayai?"

Mendengar kata-kata itu keluar dari mulut lelaki di depannya membuat bibirnya bergetar. Pipinya terasa seperti baru saja mendapat tamparan di kedua sisinya. Membuat seseorang kecewa karenanya, Yuju bahkan tak pernah berpikir untuk melakukannya.

Yuju benar-benar tidak bisa berbicara sekarang. Lidahnya mendadak kelu. Dunia seperti tidak memilik udara untuk dihirup lagi.

Tapi Dokyeom penuh tuntutan. Meminta semuanya terjawab dengan jelas.

"Geurae maja! Aku memang menyembunyikan semua. Karena aku takut kau sakit. Aku ragu saat pertama kali kau tidak mengenalku. Kau bertingkah seperti orang lain. Dan ketika aku tau semuanya, itu jauh lebih sakit dari yang kau bayangkan karena harus berpura-pura tidak mengenalmu"

Giliran Yuju berbicara. Tak peduli sudah seberapa banyak air mata yang mengalir di pipinya.

Napasnya naik turun. Ia tidak bisa mengotrol ucapannya. Semuanya serba terlanjur.

"Apa kau tahu aku tersiksa karena harus menahan semuanya?! Yang kau tahu hanya menuntut semuanya secara jelas. Tapi aku berusaha memikirkan cara terbaik menjelaskan padamu agar kau tidak sakit"

Yuju tak tahan lagi, ia harus pergi dari sini. Ini sangat memalukan karena orang-orang mulai memperhatikan mereka.

Lihatlah betapa menyedihkannya Yuju. Berjalan tertatih-tatih dengan tongkatnya.

Eomma, aku akan langsung ke bandara dengan taxi. Kita bertemu disana

Yuju mengirim sebuah pesan singkat setelah tubuhnya masuk ke dalam taxi dan membawanya menuju bandara.


□ • □ • □ • □ • □

"Yuna-ya, apa yang akan kau lakukan jika aku tidak ada?"

"Museunsoriya? Aku pasti gila jika kau tidak ada. Tidak ada yang mengajakku bermain lagi"

"Nado, aku juga tidak tahu jika kau tidak ada"



Penerbangan dari Amerika ke Seoul baru saja tiba.

Yuju datang tepat saat penumpang turun dari pesawat. Tak butuh waktu lama untuk menunggu, seorang wanita yang sedikit lebih tinggi darinya muncul dari balik pintu kedatangan sambil menyeret kopernya.

"EONNI!!" pekiknya terlampau rindu.

Dua orang itu berpelukan sangat erat.

Kim Yura, seorang mahasiswa semester akhir jurusan hukum di Amerika. Yuju tak pernah membayangkan eonninya ternyata sepintar itu.

Lama mereka berpelukan, Yura merasakan bahunya basah. Yuju menangis.

Tapi bukan hanya itu alasan ia menangis. Ia baru saja terluka.

Gadis itu merindukan seseorang yang biasa menjadi tempatnya berlindung. Ia butuh ruang itu kembali.

"Yuju-ya, neon ureowo?"

Yura melepas pelukannya dan menangkup wajah Yuju.

Adiknya itu menggigit bibir bawahnya, menahan tangisannya agar tidak semakin menjadi.

"Eonni... kenapa ini sakit sekali?"

☆ ○ ☆ ○ ☆

.

.

.

to be continued

SKYLINE | DK × YJ [✔]Where stories live. Discover now