Rumah Tanpa Rahmat

375 3 0
                                    

"Tolong... pinjami aku uang"

"Apaaa? Kau mau meminjam uang lagi haaah? Dengan apa kau akan membayarnya nanti? Hutangmu yang kemarin saja belum kau lunasi. Sekarang mau berhutang lagi. Apa kamu tidak punya kaca hah? Kamu itu miskin, makan saja susah. Dengan apa kau akan membayar semua hutangmu ?"

"Tolonglah. Untuk kali ini saja" pinta Warsinah dengan wajah mengiba.

"Baiklah, aku bersedia meminjamimu uang. Tapi syaratnya jika kamu tidak sanggup melunasi hutangmu beserta bunganya tepat waktu, aku akan menyita sepetak tanah dibelakang rumahmu" ucap Kariyem sedikit mengancam.

Warsinah hanya bisa menunduk lesu. Seakan – akan menerima semua hujatan dari Kariyem. Hujatan bertubi – tubi yang dialamatkan kepadanya atas kemiskinan yang menimpa dirinya.

Dalam guyuran hujan lebat yang cukup deras malam itu, Warsinah pulang dengan menggenggam segepok uang didalam tas kresek putih. Menggenggam sebuntal harapan.

Uang itu sangat ia butuhkan untuk membayar biaya berobat suaminya yang akan segera di operasi besok lusa.

"Suamiku, lekaslah sembuh. Aku sudah membawa uang untuk biaya operasimu besok" ucap Warsinah dalam hati. Hati yang teriris – iris oleh pisau kesedihan. Kesedihan yang membayang di pelupuk matanya. Kesedihan yang harus dibayarnya dengan sepetak tanah warisan ibu bapaknya dulu. Sepetak tanah yang harus direlakannya jika dirinya tak mampu melunasi semua hutangnya kepada Kariyem.

"Maaf suamiku, aku terpaksa" ucapnya lirih diiringi derai airmata di kedua kelopak matanya.

***

Sore itu dirumah Kariyem...

"Mas, Minggu depan waktunya aku periksa ke bidan. Memeriksakan kondisi janinku. Aku ingin kamu yang mengantarku mas" ucap Kariyem kepada suaminya Darsono.

"Berangkat saja sendiri" ucap Darsono.

"Kenapa mas, kamu tidak bisa mengantarku?"

"Minggu depan teman – temanku datang. Kami akan berpesta disini. Sambil bereuni karena sudah lama tak jumpa"

"Baiklah kalau begitu maumu" balas Kariyem lirih tanpa bisa protes atas jawaban singkat yang keluar dari kedua bibir Darsono barusan.

Sudah menjadi rahasia umum kalau di Desa Surodinawan terkenal akan seorang yang kaya raya. Rumah mewah serta mobil berjejer dua. Rumah nomor 17 lebih tepatnya. Rumah yang terasa angker bagi yang baru pertama kali masuk kesana. Tidak ada aura kebaikan didalamnya. Rumah itu selalu tampak remang – remang. Sedikit pencahayaan didalamnya.

Disekeliling rumah itu berdiri pagar yang tinggi. Di gerbangnya terdapat dua patung prajurit Romawi kuno membawa perisai dan tombak. Atap yang tinggi menjulang ke angkasa menggambarkan keangkuhan yang sangat. Tinggi melebihi tinggi rumah – rumah disekitarnya. Berwarna cokelat gelap.

Darsono sekeluarga sudah menempati rumah itu sejak sepuluh tahun lalu. Ya... sekeluarga. Keluarga Darsono. Tanpa anak. Hanya Darsono dan istrinya Kariyem.

Baru setelah berusaha kesana – kemari. Berobat ke dokter dan ke dukun. Obat modern maupun herbal. Akhirnya Kariyem berisi juga. Tepat di tahun kedua belas. Dan sekarang sudah menginjak bulan kesembilan kehamilannya. Semakin membesar saja di usia Kariyem yang sudah tidak muda lagi.

"Tadi pagi kamu tidak lupa menyiram segelas air bunga mawar kan?" tanya Darsono kepada Kariyem malam itu sebelum mereka membaringkan tubuh lelah mereka diatas ranjang.

"Segelas air bunga mawar merah. Yang satu mekar sempurna, yang satu masih kuncup"

"Iya benar. Apa sudah kamu lakukan?"

Kumpulan Cerita PendekWhere stories live. Discover now