Pukul Tiga

186 2 0
                                    

"Kriiiiiiiiiing....." jam beker ku berbunyi cukup nyaring malam itu.

"Sudah pukul 02.00 rupanya"

Dengan segera aku beranjak dari kasurku dan berjalan menuju belakang. Dinginnya udara malam itu cukup membuatku menggigil. Benar – benar dingin menusuk sumsum tulangku. Dengan mata setengah ngantuk aku berjalan menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Bersiap – siap melaksanakan sholat malam.

Namun rupanya malam itu lain dari biasanya. Pukul 2 kali ini lebih dingin dari pukul 2 kemarin. Bahkan aura malam itupun sedikit berbeda. Entah apa sebabnya aku kurang tahu.

Saat aku membersihkan badanku di kamar mandi, kudengar suara seorang wanita sedang melantunkann kidung – kidung jawa. Suaranya sangat merdu. Khas seorang pesinden.

"Aku kelingan sliramu cah bagus, kaya lintang ing tawang" dendangnya.

"Malam – malam begini siapa yang menyanyi itu?" pikirku dengan seribu rasa penasaran menyergap. Namun tak kupedulikan suara itu.

Setelah kurasa badanku sudah bersih, aku keluar kamar mandi. Rasa penasaranku belumlah terjawab. Dengan memberanikan diri, aku mengintip dari balik korden jendela dapur. Aku lihat sekeliling halaman belakang rumahku. Kandang ayam, pohon kamboja, pohon pisang hingga sumur tua peninggalan kakek buyutku. Semua tak lepas dari pengamatanku.

"Tak ada siapapun". Gumamku

Lalu kututup kembali korden jendela dapur. Dan aku segera menunaikan sholat tahajud.

30 menit aku sudah menyelesaikan sholatku. Mendadak terdengar suara nyanyian itu lagi. Tepatnya di belakang rumahku. Sambil membaca do'a sebisaku, aku menuju halaman belakang. Kali ini aku benar – benar keluar dari dapur dan berjalan menyusuri tiap sudut halaman belakang rumahku. Saat itu tepat pukul 3 dini hari.

"Tidak ada yang aneh disini, semua nampak seperti biasanya". Gumamku.

Namun saat aku melewati sumur tua, mendadak aku dikejutkan seorang wanita berbusana jawa. Bersanggul layaknya seorang sinden.

"Siapa kamu ?" tanyaku

"Bagiku nama tidaklah penting!"

"Apa yang kamu lakukan disini tengah malam begini?" tanyaku penasaran

"Aku tak memiliki fisik, tetapi aku ada. Aku tak memiliki raga, tetapi aku bisa meniru raga siapapun yang aku mau!" balasnya dengan senyum ramah.

"Apa maksudmu?" tanyaku penasaran

"Aku ingin menemuimu!" balasnya

"Untuk apa?" tanyaku

"Karena darahku ada di dalam darahmu!" balasnya

Mendengar jawaban wanita itu, aku melangkah ke belakang. Berusaha sedikit menjauh darinya.

"Mengapa kau menjauh, aku hanya ingin menemuimu saja. Menemuimu untuk yang terakhir kali. Setelah sekian lama aku menunggu. Hanya kau yang bisa menyempurnakan aku!" ucapnya dengan ekspresi menunduk dan mengiba.

"Tidak, aku tidak mngerti ucapanmu. Sebenarnya apa maumu!" balasku

"Kebaikan hatimu, kebaikan budimu, ketaatan ibadahmu dan kebesaran hatimulah yang bisa menyempurnakan aku. Kemarilah mendekat kepadaku!"

Bagai cahaya, tubuh wanita itu langsung berdiri tepat di depanku. Menatapku, menggenggam tanganku dan menarikku kedalam pelukannya.

"Kau sudah membuatku malu. Kau adalah aib keluargaku!" bentak Sudiro kepada adiknya Sartini.

"Tidak mas, aku tidak melakukan itu semua. Percayalah. Aku tidak seperti yang kamu kira mas!".

"Ah persetan dengan alasanmu, sekali wanita penghibur tetap penghibur. Semua wanita penghibur sama saja. Uang dan syahwat tujuannya !" bentak SUdiro kepada adiknya Sartini.

Tanpa berpikir panjang. Demi menutupi malu atas aib yang menimpa keluarganya, Sudiro menarik Sartini menuju halaman belakang. Jeritan Sartini yang keras malam itu tak bisa keluar. Tangan Sudiro telah menyumpal mulutnya. Menggenggam lengannya dan menyeret tubuhnya. Sartini tak kuasa melawan. Hanya pasrah merasakan siksaan dari kakaknya.

"Malam ini kamu harus aku sucikan. Jiwamu harus aku bersihkan. Di tepi sumur itu Sudiro menyiram tubuh mungil Sartini berkali – kali.

"Ampun mas... ampuuuuuunnnn". Iba Sartini kepada kakaknya.

"Tidak perlu kau minta ampun padaku. Malulah kau pada Yang Kuasa atas perbuatanmu yang hina ini!" bentak Sudiro.

Sudiro sudah kalap mata. Akal sehatnya sudah tertutupi amarahnya. Sudiro terus mengguyurkan air sumur ke tubuh Sartini, menjambak rambutnya, mengguyurkan air, menjambaknya lagi dan seterusnya. Rintihan kesakitan adiknya tak dia hiraukan. Sudah hampir 2 jam Sudiro menyirami tubuh adiknya dengan air sumur yang dingin. Selama itu pula Sartini harus merasakan siksaan dari kakaknya.

Tepat pukul tiga dini hari, mendadak sesak napas Sartini kambuh. Udara malam dan dinginnya air sumur serasa mencekik leher Sartini. Dalam hembusan ketiga, tercabut sudah roh Sartini. Keluar dari tubuhnya dengan cara paksa. Direnggut oleh kakaknya sendiri. Tepat pukul tiga malam dalam hembusan napas yang ketiga.

"Apa yang terjadi padaku?" tanyaku sambil menahan sakit di kepala.

"Subuh tadi kami menemukanmu terduduk di tepi sumur di belakang rumahmu, dan segera kami bawa masuk kedalam rumah".jawab ibuku.

"Memang semalam ada apa nak?" Tanya paman.

"Aku tidak ingat paman".balasku

Sore harinya disaat aku hendak mandi, aku menuju ke sumur tua itu. Memeriksa sekeliling sumur. Mungkin aku bisa mendapatkan jawaban atas kejadian semalam. Benar saja, saat aku mengamati sudut sumur, tepatnya di sebelah utara dibawah pohon kamboja kuning. Bersinar sebuah benda. Awalnya aku kira sebuah sendok. Tapi setelah aku dekati, ternyata itu adalah konde untul sanggul rambut. Berwarna kuning keemasan berukirkan bunga kamboja. Sontak aku teringat almarhum adik kakek buyutku.

"Berarti wanita semalam adalah adik kakek buyutku". Gumamku lirih

Kejadian semalam terjawab sudah. Segera aku membersihkan badanku dan bersiap – siap ke makam adik kakek buyutku yang meninggal 30 tahun yang lalu di usianya yang ke-30.

Kumpulan Cerita PendekWhere stories live. Discover now