57. Berpaling Melihat Cahaya Golok

578 15 0
                                    

"Apakah aku ini manusia?" 

"Benar."

"Apakah aku adalah sahabatmu?" 

"Benar!"

"Kau takut menyusahkan orang lain, menyusahkan sahabatmu, tapi membiarkan aku menemanimu hidup tersiksa dalam neraka ini," seru Tong Po-gou dengan nada mendongkol, "memangnya kau anggap hanya kau sendiri yang manusia? Memangnya aku bukan sahabatmu?"

Thio Than menundukkan kepala dan menyahut lirih, "Kau bukan sedang menemani aku, karena mereka ingin menangkap ku, juga ingin menangkap kau."

"Kalau sekarang ada kesempatan bagi kita untuk kabur, kenapa kau tak mau kabur?" tanya Tong Po-gou naik darah.

"Tolong, jangan keras-keras kalau bicara, mau bukan?" pinta Thio Than setengah merengek.

"Goblok kau," bisik Tong Po-gou, "kalau kita saling mengumpat dengan suara keras, mereka malah tak menaruh perhatian, semakin kecil suara kita, orang semakin curiga."

"Hai, sekarang aku benar-benar mulai merasa kagum kepadamu," Thio Than menghela napas panjang.

"Justru karena aku selalu mengagumkan maka manusia macam aku tidak sepantasnya mampus di tempat seperti ini, lagi pula kalau aku mati, siapa yang akan melindungi Un Ji?"

"Betul, dan siapa yang akan melindungi Lui Tun," sambung Thio Than.

Menggunakan kesempatan itu Tong Po-gou berkata lebih lanjut, "Pertempuran antara perkumpulan Lak-hun-poan-tong melawan Kim-hong-si-yu-lau akan berlangsung lusa, kalau kau hadir di tempat itu, maka ada kesempatan bagimu untuk melindungi Lui Tun, sementara aku pun bisa melindungi Un Ji agar tidak dicelakai orang, tapi kalau kita sama-sama tak ada di situ, bagaimana dengan nasib Un Ji serta Lui Tun?"

"Betul, betul!" walaupun seluruh badannya terasa amat sakit hingga peluh dingin membasahi seluruh tubuhnya, namun Thio Than memaksakan diri untuk mendongakkan juga kepalanya, "kita harus berusaha untuk meninggalkan tempat ini!"

"Nah, begitu baru betul, teman itu dijalin untuk saling menggunakan, cepat cari kesempatan untuk berhubungan dengan teman yang bisa dimanfaatkan!"

"Tapi aku dengar orang berkata, teman itu gunanya untuk saling membantu bukan untuk saling memanfaatkan."

"Apa bedanya membantu dan memanfaatkan, toh akhirnya sama saja? Cuma yang satu enak didengar sementara yang lain kurang sedap untuk didengar."

"Tapi kalau kita berteman hanya ingin memanfaatkan bagi keuntungan pribadi, maka selama hidup kita tak akan memperoleh sahabat sejati....."

"Sudahlah, tak berguna kita membicarakan masalah itu, yang penting sekarang cepat hubungi temanmu, tanya kapan mereka bisa menolong kita keluar dari sini?"

"Mana aku tahu kapan baru bisa keluar dari sini..."

Hampir meledak rasa dongkol Tong Po-gou setelah mendengar perkataan itu, untung saat itulah Thio Than telah berkata lagi, "Hanya mereka yang tahu akan hal itu."
"Siapakah mereka?"

"Orang-orang yang akan menolong kita."

"Bersediakah mereka menolong kita?"

"Entahlah, tapi mungkin saja mereka akan menunggu sampai esok malam."

Jika esok malam adalah saat untuk melarikan diri, berarti malam ini mereka harus memulihkan kembali kondisi tubuh yang lelah dan kehabisan tenaga, agar esok ada kemampuan untuk melarikan diri.

Dalam keadaan begini, terpaksa Tong Po-gou harus menunggu, Fajar belum menyingsing, langit masih amat gelap. Satu malam lagi akan tiba saat pertarungan mati hidup antara dua perkumpulan besar di ibukota. Saat itu Ong Siau-sik sedang berlatih silat di depan loteng merah, markas besar Kim-hong-si-yu-lau.

Pendekar Sejati : Golok Kelembutan (Wen Rui An)Where stories live. Discover now