45. Manusia Paling Tak Tahu Malu Kui Kian-ciu

765 20 0
                                    

So Bong-seng mengerling sekejap ke arah Ti Hui-keng dengan wajah dingin bagaikan salju, sepasang matanya memancarkan cahaya merah bagai api setan, siapa pun tak bisa menduga apakah dia sedang marah atau tidak.

"Ooh, jadi kau tidak setuju?" tanyanya hambar.

"Kalau kita berunding di Kim-hong-si-yu-lau berarti kami sudah memasuki sarang harimau dan terjerumus dalam kepungan musuh, itu namanya mengantar diri ke dalam jebakan, kalau perbuatan semacam itu sih aku tak sudi melakukan!"

"Benarkah?" So Bong-seng tertawa, "tapi kali ini mungkin kau harus melanggar kebiasaan."

"Kenapa?"

"Sebab akulah yang menyuruh kau ke sana."

Ti Hui-keng termenung sampai lama sekali, kemudian baru berkata, "Tidak, aku tetap menolak, jika mesti menderita kekalahan esok, lebih baik kita bertarung habis-habisan hari ini!"

Perlahan-lahan So Bong-seng menarik napas panjang, empat jari kirinya ditekuk di atas telapak tangan kanannya, inilah cara yang biasa digunakan Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui untuk mengendorkan rasa tegang, sekarang tanpa terasa dia pun menggunakannya.

"Kau tidak berani?" tantangnya sambil menatap tajam Ti Hui-keng.

"Kau berani jika pertemuan diselenggarakan di depan markas besar perkumpulan Lak-hun-poan-tong kami?" Ti Hui-keng balas bertanya.

"Baik," ternyata So Bong-seng langsung menyetujui, perkataannya tajam bagai sayatan bambu bahkan tanpa berpikir lagi, "kami akan mendatangi markas besar perkumpulan Lak-hun-poan-tong!"

Begitu janji itu diberikan, bukan hanya anggota perkumpulan Lak-hun-poan-tong yang merasa kaget, seluruh anggota Kim-hong-si-yu-lau pun ikut terkesiap.

Tanpa memasuki sarang macan, mana mungkin bisa memperoleh anak harimau?
Namun orang yang berani memasuki sarang macan, sering kali harus membayar mahal atas perbuatannya itu.

Memasuki sarang musuh ibarat memasuki daerah yang gelap, musuh ada di posisi gelap sementara posisi sendiri amat terang, biasanya tindakan semacam ini tak akan dipilih orang pintar, apalagi berhadapan dengan musuh setangguh perkumpulan Lak-hun-poan-tong, jangan-jangan So Bong-seng sudah sinting?

Begitu perkataan itu diucapkan, Su Bu-kui segera maju satu langkah seakan hendak mengatakan sesuatu, begitu juga dengan Mo Pak-sin, entah darimana munculnya, tahu-tahu ia sudah menghampiri So Bong-seng.

Tapi So Bong-seng sama sekali tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk buka suara, kembali serunya, "Kalian berani tidak?"

Berkilat sepasang mata Lui Sun, ia segera tertawa tergelak, "Hahaha, bila So-kongcu bersedia mengunjungi markas kami, tentu saja dengan tangan terbuka kami akan menunggu kehadiran kalian semua!"

"Tidak bisa!" mendadak Ti Hui-keng menampik.

So Bong-seng memandang peti mati itu sekejap, kembali sinar aneh memancar keluar dari balik matanya, ujarnya dingin, "Hmm, tak kusangka ternyata Ti-toatongcu bernyali kecil."
"Masalah ini bukan masalah bernyali atau tidak, tapi sudah menyangkut masalah kepercayaan," sahut Ti Hui-keng tidak marah ataupun tersinggung.

"Masalah kepercayaan?"

"So-kongcu sudah bilang akan menanti jawaban tiga hari kemudian, sebagai ucapan Locu Kim-hong-si-yu-lau, semestinya janji itu adalah sah, karena bila diingkari, sekalipun kau berhasil mengalahkan pihak lawan pun, tindakanmu ini akan ditertawakan orang banyak," kata Ti Hui-keng, "So-kongcu, untuk sukses dalam masalah besar, urusan kecil pun terkadang harus diperhatikan, tentunya kau tak akan ingkar janji hanya gara-gara urusan kecil bukan?"

Pendekar Sejati : Golok Kelembutan (Wen Rui An)Where stories live. Discover now