1. Manusia Yang Tak Mirip Manusia

4.3K 57 1
                                    

BAB I MANUSIA DI TENGAH PUING

Diantara sekian banyak orang yang datang ke kota Kay-hong untuk mengadu keberuntungan, Ong Siau-sik adalah satu diantaranya. Dia masih muda, ganteng, bercita-cita tinggi, berbakat hebat, datang dari jauh dan bersaku licin bagaikan baru keluar dari binatu.

Tapi dia merasa angin yang berhembus semilir begitu lembut, kabut hujan yang remang-remang tidak menghalanginya menikmati keindahan alam, baginya tak ada persoalan yang bisa menghalangi cita-citanya untuk berkelana dalam dunia persilatan.

Ong Siau-sik sedikit berbeda bila dibandingkan orang kebanyakan, dia membawa sebilah pedang.

Tentu saja pedang itu dibalut rapat dengan kain tebal, dia bukan opas, juga tidak bekerja sebagai pengawal barang ekspedisi, malah bajunya dekil dan mirip gelandangan, jika senjata tajamnya tidak dibalut dengan kain tebal, tak perlu disangkal lagi tentu banyak kesulitan dan kerepotan yang akan dihadapinya.

Pedang yang dibalut dalam bungkusan kain tebal itu hanya memiliki satu ciri khas, yakni gagang pedangnya berbentuk melengkung.

Tentu saja pedang itu pedang asli, begitu juga dengan gagang pedangnya, gagang pedang yang berbentuk bulan sabit.

"Meniup seruling di loteng Hong-hok-lau,
Bunga bwe berguguran di kota Kang-shia pada bulan kelima."

Seandainya Ong Siau-sik tidak beranjak di tepi telaga utara karena kagum oleh nama besar Hong-hok-lau, tergiur keindahan alam dan kemegahan bangunan itu, tak nanti dia akan bertemu dengan Pek Jau-hui.

Semisal ia tak bertemu Pek Jau-hui, belum tentu akan terjadi banyak peristiwa dikemudian hari, sekalipun bakal terjadi sesuatu, belum tentu sama akibatnya.

Memang begitulah kehidupan manusia, hanya kerena tanpa sengaja melihat sesuatu atau karena mendengar sesuatu, perubahan besar yang mungkin terjadi sering diluar dugaan siapapun.

Di tengah alur ombak sungai, di tengah asap dan kabut yang melayang tipis di atas permukaan air, baik di atas ba-ngunan loteng maupun di bawah loteng, banyak tertera tulisan dan syair hasil gubahan orang kenamaan.

Sementara di luar bangunan, di sepanjang jalan banyak berkumpul pedagang kaki lima yang berteriak menjajakan barang dagangannya, bau amis ikan dan udang yang dijajakan sepanjang sungai menambah joroknya suasana di seputar situ.

Apa pun keadaan di sana, baik pedagang kaki lima maupun pemilik toko sepanjang jalan utama, semuanya tahu kalau para pelancong bukan melulu datang untuk menikmati keindahan alam, banyak di antara mereka yang memanfaatkan kesempatan itu untuk cuci mata sepanjang jalan. Bukankah banyak gadis penjaja yang menawarkan tubuhnya dari balik perahu?

Ong Siau-sik sudah berkunjung ke banyak tempat, namun dengan ketajaman mata para pedagang, mereka tahu dengan pakaian yang dikenakannya begitu sederhana, jelas tak banyak uang yang dimiliki, karenanya tak ada yang menawarkan barang dagangan kepadanya.

Ong Siau-sik sangat terusik dengan perlakuan semacam ini, baru saja dia akan naik perahu untuk menyeberang, tiba-tiba terdengar suara gembreng yang dibunyikan bertalu-talu, begitu keras hingga menarik perhatian pemuda itu.

Di sudut jalan utama terdapat sebuah lapangan beralas batu yang cukup lebar, tempat itu memang disediakan untuk orang jual jamu, jual silat dan akrobat lainnya, sudah banyak orang yang berkerumun di situ, tampaknya keramaian segera akan dimulai.

Ong Siau-sik tertarik dengan keramaian itu, tanpa terasa dia pun ikut melongok ke sana.

Padahal dia hanya melongok sekejap, melongok tanpa maksud tertentu, tapi justru karena dia melongok maka segala sesuatunya pun terjadilah, tak bisa dicegah lagi.

Pendekar Sejati : Golok Kelembutan (Wen Rui An)Where stories live. Discover now