55. Hujan dan Angin

569 17 0
                                    

"Semua barang yang rusak di tempat ini sudah seharusnya kami yang ganti," sebelum meninggalkan rumah makan Thio Than sempat berkata begitu kepada Lociangkwe serta para pelayan, "tapi sekarang kami tak usah repot lagi, asal ada Cu-tayjin di sini, mereka pasti akan membayarkan ganti ruginya, kalian tak usah kuatir."

"Kau pun tak usah kuatir," Jin Lau yang berada di samping Cu Gwe-beng menyahut,
"kami pasti akan membayar ganti rugi ini."

Kemudian setelah tertawa dengan suara yang rendah dan berat, tambahnya,

"Bagaimana pun toh bukan kami yang harus merogoh kocek."

"Tepat sekali perkataanmu," Thio Than turut tertawa, "merogoh kocek sendiri sudah sekarusnya dihindari, perbanyaklah merogoh kocek orang lain."

"Ah, rupanya kita memang sepaham, begitu bertemu sudah merasa cocok satu dengan lainnya," seru Jin Lau sambil merangkul bahu mereka berdua, "aku mengundang kalian pulang, nanti kita mesti berbicara sampai puas."

Maka Thio Than dan Tong Po-gou pun berjalan keluar dari rumah makan itu menuju ke dalam kota yang penuh dengan angin dan hujan badai itu.

Di tengah hujan angin, dua orang petugas pengadilan yang berjalan di depan sambil membawa lampion tampak mengayunkan langkahnya dengan sangat lambat, iring-iringan itu mirip dengan sebuah iringan pengantar jenazah ke tempat pekuburan ....

Ada beberapa banyak angin dan hujan di dalam kota? Inikah yang disebut kepuasan?

Jika kepuasan adalah begini, Tong Po-gou dan Thio Than rela sepanjang hidup tak akan menjumpai apa yang dibilang sebagai sebuah kepuasan.

Yang mereka alami bukan sebuah kepuasan, tapi satu ke puasan yang setengah mati!
Penderitaan yang luar biasa, penderitaan yang membual mereka hampir mati.
Sekarang mereka baru paham, apa yang dikatakan para petugas opas sebagai "menjawab beberapa pertanyaan lalu tak ada urusan" adalah menyuruh mereka menjawab beberapa pertanyaan atasan lalu tak ada urusan untuk para petugas itu.
Misalkan saja Jin Lau bertanya kepada Thio Than, "Mengapa kau datang ke kotaraja?"
"Kenapa? Aku tak boleh datang ke kotaraja?"

Baru saja Thio Than menyelesaikan jawabannya, seorang sipir penjara yang berada di belakangnya tiba-tiba menendang pinggangnya dengan keras.

Thio Than kesakitan setengah mati hingga untuk sesaat tak mampu mengucapkan sepatah kata pun.

"Akulah yang sedang bertanya kepadamu, bukan kau yang bertanya kepadaku, lebih baik dengarkan secara jelas."

Waktu itu Thio Than digantung terbalik, kepala di bawah dan kaki di atas, sebuah penyiksaan yang amat berat.

"Kenapa kau datang kemari?"

"Bukankah kau yang mengundangku kemari?"

"Apa?"

"Bukankah kau bilang akan mengajak kami datang kemari menjawab beberapa pertanyaan?"

Jin Lau menghela napas dan mengangguk.

Tali pengikat tangan dan kaki pun segera ditarik orang dengan kencang, membuat kedua tangan dan kaki Thio Than terbetot hingga membentuk sebuah garis lurus, saking kesakitannya dia hampir menangis.

"Sebagai lelaki sejati, kepala boleh putus, darah boleh mengalir, tapi jangan menangis!" teriak Tong Po-gou gusar.

"Aku bukan seorang lelaki sejati, aku belum kawin, aku hanya seorang Hohan!" sahut Thio Than sambil menahan kesakitan yang luar biasa.

Kondisi Tong Po-gou sendiri pun tidak terlalu mulus, tubuhnya digantung dalam bentuk melengkung, kepala bagian belakangnya nyaris menyentuh ujung kaki, tubuhnya diikat di sebuah tiang berbentuk roda kereta, seluruh tubuhnya nyaris hancur saking sakitnya.

Pendekar Sejati : Golok Kelembutan (Wen Rui An)Onde histórias criam vida. Descubra agora