11. Manusia di Tengah Puing

1K 24 0
                                    

Memandang air hujan yang turun dengan derasnya, tanpa terasa Pek Jau-hui bergumam, "Hujan kali ini sungguh deras."
"Benar, hujan memang amat deras," sahut Ong Siau-sik.
Kongcu berpenyakitan yang berdiri di samping mereka tiba-tiba mendongakkan kepala, memandang hujan di luar puing bangunan, lalu katanya pula, "Benar-benar hujan yang amat deras!"

Mereka bertiga sama-sama membicarakan soal hujan, tanpa terasa sorot mata pun dialihkan ke depan sana.

Di luar puing bangunan hanya suara hujan yang memekakkan telinga, seorang nenek berbaju compang-camping, berambut putih, sedang berjongkok di sudut dinding sambil mengais barang rongsok yang bertumpuk di situ.

Seekor semut tampak sedang merangkak di atas dinding bobrok, beberapa kali berusaha merangkak naik, namun selalu tertahan hembusan angin kencang dari luar, lelaki tinggi besar yang kebetulan berdiri di sisinya menjadi tak sabar, dia menggerakkan jari tangannya, siap menginjak mati semut itu.

"Te Hoa!" mendadak Kongcu penyakitan itu menegur, "sekalipun kau tak sabar melihatnya, tidak perlu mesti membunuhnya, dia toh tidak mengganggumu, tidak menutupi jalanmu, kenapa kau mesti berniat membunuhnya? Kenapa tidak membiarkan dia mencari hidup di dunia ini?"

"Baik, Kongcu," sahut orang tinggi besar itu sambil meluruskan tangannya ke bawah dengan kepala tertunduk.

Biarpun usia Kongcu ini belum terlalu tua, namun sikapnya seakan orang dewasa sedang menegur seorang anak kecil, kembali ujarnya, "Apakah kau kuatir Hoa Bu-ciok gagal menemukan barang antik itu?"

"Benar, aku kuatir terjadi sesuatu dengan dirinya," jawab lelaki tinggi besar itu dengan perasaan tak tenang.

Kembali Kongcu penyakitan itu mengalihkan pandangan matanya ke arah hujan yang masih turun dengan deras, sekali lagi bara api memancar dari balik matanya.

"Selama ini Hoa Bu-ciok pintar dan cekatan, dia tak akan membuat aku kecewa," katanya.

Si nenek yang kurus kering dan sedang mengais rongsok di pojok ruangan itu nampak gemetaran keras, mungkin lantaran udara sangat dingin sementara mantel yang dikenakan tak cukup tebal, dia nampak sangat kedinginan.

"Wo Hu-cu!" tiba-tiba Kongcu itu berseru.

Salah satu di antara dua lelaki yang berdiri di teras depan, seorang lelaki berdandan pegawai keuangan segera menyahut, "Siap!"

"Nenek itu nampak kasihan sekali, beri sedekah kepadanya!"

Wo Hu-cu menyahut dan segera mengeluarkan dua. tahil perak yang diserahkan ke tangan nenek itu.

Tampaknya selama hidup belum pernah nenek itu menerima derma sebesar itu, sesaat ia nampak terperangah.

Saat itulah terdengar lelaki yang masih ada di teras depan berseru lirih, "Kongcu!"
"Sudah datang?" sekilas perasaan girang melintas di wajah Kongcu penyakitan itu.
Lelaki itu berpaling, ternyata orang ini memiliki wajah yang aneh, separuh bagian berwarna hitam dan separuh yang lain berwarna putih, sahutnya pada Kongcu penyakitan, "Hoa Bu-ciok telah datang, di punggungnya menggendong seorang."

Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui yang menyaksikan kejadian itu diam-diam merasa terperanjat.

Ternyata lelaki itu bukan 'melihat' ada orang datang, melainkan mendengar ada orang mendekatinya dari belakang. Jika hal ini terjadi di waktu biasa, kejadian itu tak aneh, tapi waktu itu hujan sedang turun dengan amat derasnya, suara angin gemuruh keras sementara si pendatang bergerak dengan langkah ringan, bahkan Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik pun tidak mendengar apa-apa, tapi nyatanya orang itu bisa mendengar dengan amat jelas.

Mengikuti arah yang ditunjuk, Te Hoa ikut berpaling, kemudian serunya dengan nada girang, "Ah, ternyata yang digendong Hoa Bu-ciok adalah si barang antik, barang antik telah berhasil dia tawan!"

Pendekar Sejati : Golok Kelembutan (Wen Rui An)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن