29. Gentong Nasi dan Babi

770 23 0
                                    

BAB III: MANUSIA KOSONG

Semenjak melangkah masuk ke dalam pintu rumah makan, ia sudah memperhatikan orang ini, orang yang sedang asyik makan nasi ini.

Alasannya sederhana sekali, jarang ada orang yang 'berani' tidak melihat ke arahnya, 'dapat' tidak melihat ke arahnya dan 'boleh' tidak melihat ke arahnya.
Sebaliknya dia sendiri pun tidak melihat si Gentong nasi ini, karena orang yang asyik bersantap ini wajahnya sudah tertutup oleh tumpukan mangkuk yang ada di hadapannya.

Total ada lima puluh lima buah mangkuk kosong yang tertumpuk di atas meja orang itu, ditumpuk meninggi sehingga nyaris menutupi seluruh kepala orang itu, tak ada yang tahu bagaimana cara dia menghabiskan nasi sebanyak itu, juga tak ada yang tahu apakah dia masih tetap asyik bersantap.

Kini walaupun lelaki kekar itu sudah berpaling ke arahnya, ia tetap tak dapat melihat wajahnya, yang terdengar hanya suara sumpit serta suara orang sedang mengunyah.
Lelaki kekar itu segera tertawa, tegurnya kepada sang pelayan, "He, suara apa itu?"

Sang pelayan agak tertegun, tanyanya, "Tuan, apa kau bilang?"

"Coba dengar, suara apa itu?" kata lelaki kekar itu sambil tertawa.

Sang pelayan benar-benar tidak tahu suara apa yang dimaksud, sebab di jalan, di rumah makan hampir semuanya bersuara, maka dia tak tahu harus menjawab apa.

"Coba kau dengar," kembali lelaki kekar itu berkata, "seperti ada babi sedang makan nasi!"

Pelayan itu segera mengerti apa yang dimaksud, ia tak berani menyahut, hanya menganggukkan kepalanya berulang kali.

"Salah, salah besar mendadak terdengar si Gentong nasi menyahut, "tidak benar, tidak benar

Kembali lelaki kekar itu tertawa tergelak.

"Hahaha, coba dengar, kali ini kau sudah mendengar dengan jelas bukan? Ternyata sang babi bukan cuma pandai makan nasi, dia malah pandai juga berbicara!"

"Yang dimakan babi bukan nasi, nasi hanya untuk makanan manusia, masa teori semacam inipun kau tidak mengerti" seru si Gentong nasi serius, "memangnya otakmu tumbuh seperti otak babi?"

"Lebih baik berhati-hatilah jika berbicara," seru lelaki kekar itu sambil tertawa dingin.

"Antara manusia dengan manusia memang mesti saling menghormati, manusia boleh memetik harpa di hadapan kerbau, tapi kalau manusia menghadapi babi... yang penting timbangan badannya, apakah cukup berbobot atau tidak, jadi soal hormat menghormat tak perlu disinggung." ,

Berubah hebat paras muka lelaki kekar itu, dengan wajah merah padam hardiknya,

"Kau sedang mengatai aku?"

"Tidak, aku sedang bicara soal babi," sahut si Gentong nasi.

Lelaki kekar itu tak kuasa menahan diri lagi, ia menggebrak meja sambil membentak penuh amarah, "Coba kau ulangi sekali lagi!"

"Braaak!", meja yang dihajar segera membuat guci arak terguling dan hancur berantakan, arak berceceran dimana-mana.

Melihat pertarungan antara dua orang itu bakal segera terjadi, banyak tamu yang segera membayar rekening dan diam-diam mengeluyur pergi dari situ.

"Ai, babinya mulai sewot, sayang, arak wangi dibuang sia-sia," kata si Gentong nasi lagi sambil menghela napas, "sayang, benar-benar sayang, betul-betul seperti kerbau makan bunga Botan, mau makan pun tidak pilih-pilih tumbuhan!"

Lelaki kekar itu sudah tak mampu mengendalikan diri lagi, dia segera bangkit berdiri.

Setelah tumpukan mangkuk di meja berserakan, kini Ong Siau-sik dapat melihat jelas raut wajahnya.

Pendekar Sejati : Golok Kelembutan (Wen Rui An)Where stories live. Discover now