10. Manusia dan Ikan

1K 25 0
                                    

Bila empat orang yang sudah biasa berkumpul, lalu pada suatu hari tiba-tiba rombongan itu kehilangan satu orang, bagaimanakah perasaannya waktu itu?
Jangan kan manusia, sebuah cincin pun terkadang bisa mendatangkan perasaan yang tak enak, mungkin di saat pertama kali mengenakannya, kau akan merasa tak leluasa, tapi bila sudah terbiasa mengenakannya, bila suatu ketika harus dilepas kembali, pasti akan merasa sangat kehilangan.

Terlebih kalau dia bukan sebuah cincin.

Terlebih jika dia adalah seorang gadis cantik.

Seorang gadis yang masih polos, lembut, halus, terkadang pipinya bisa berubah merah jengah, terkadang nampak sedikit gelisah.

Hari itu dia telah pergi, pergi tanpa meninggalkan pesan apa pun.

Dapat dibayangkan, bagaimana perasaan ketiga orang yang ditinggalkannya?
Tak tahan Un Ji mulai mengomel, "Thian Tun itu Cici macam apa? Kenapa pergi tanpa pamit? Kenapa ia berbuat begitu? Kenapa ia bersikap begitu?"

Ong Siau-sik sendiri pun ikut merasa sedih, ujarnya, "Mungkin dia pergi karena ada urusan penting, mungkin ia mempunyai kesulitan yang tak ingin diketahui orang, padahal kita sudah satu rombongan, sekalipun ada urusan penting, kan bisa kita kerjakan bersama, kalau ada kesulitan, kita bisa pecahkan bersama, hanya saja..."
Setelah berhenti sejenak dan menghela napas panjang, tambahnya, "Terkadang untuk menyelesaikan satu masalah, pergi beramai malah tidak leluasa, kalau toh ada kesulitan, mana mungkin bisa dibicarakan secara terbuka?"

Ia tahu Pek Jau-hui selama ini hanya diam saja, bahkan dengan wajah gelap sedang duduk di tepi sungai sambil memancing.

Ong Siau-sik pun meminjam alat pancing pada seorang tukang perahu, kemudian duduk di samping Pek Jau-hui.

Tinggal Un Ji seorang yang tak tertarik untuk berbuat begitu, menggunakan kesempatan itu dia naik ke darat dan pergi ke kota terdekat untuk melihat keramaian.
Sampai lama sekali, pancingan Pek Jau-hui belum juga disentuh ikan, begitu pula dengan pancingan Ong Siau-sik. Pek Jau-hui tetap membungkam.

Ong Siau-sik ikut membungkam, dia memang sedang menemaninya memancing.
Banyak orang mulai berlalu lalang di sepanjang pantai, suasana tambah lama tambah ramai, tapi kedua orang pemuda itu tetap duduk tenang di tepi pantai, duduk sambil memegangi alat pancing.

Menjelang tengah hari, Un Ji balik dengan penuh kegembiraannya, sambil membawa barang bawaannya ia naik ke perahu, ia mulai ribut untuk meneruskan kembali perjalanannya.

"Apakah tidak ditunggu sebentar lagi?" tanya Ong Siau-sik.

"Tidak usah ditunggu," sahut Pek Jau-hui tanpa berpaling. Mereka bertiga bersantap di dalam perahu, hidangan yang disajikan adalah ikan leihi masak cuka.

"Ikan ini hasil pancingan siapa?" tanya Un Ji sambil membersihkan mulutnya.
Kemudian sambil menuding Ong Siau-sik dengan sumpitnya dia menambahkan, "Kau?" Ong Siau-sik menggeleng.

"Kalau begitu tentu kau!" seru si nona sambil menuding ke arah Pek Jau-hui, tapi yang ditunjuk sama sekali tidak menggubris.

Tiba-tiba Un Ji meletakkan kembali sumpitnya seraya berseru, "Kalau bukan hasil pancingan kalian berdua, sudah pasti ikan itu meloncat sendiri ke atas daratan dan mengubah diri jadi sepiring hidangan!"

Melihat gadis itu sewot, Ong Siau-sik mengerling sekejap ke arah Pek Jau-hui, kemudian katanya, "Bukan aku, bukan juga dia, tukang perahu yang membelinya di pasar."

"Tapi bukankah kalian sudah memancing setengah hari lamanya, masa tanpa hasil seekor pun?" tanya Un Ji tidak habis mengerti.

Pek Jau-hui tidak langsung menanggapi, dia menghirup dulu secawan arak, lalu berpaling ke arah Ong Siau-sik sembari bertanya, "Jadi kau pun tak berhasil mendapatkan seekor ikan pun?"

Pendekar Sejati : Golok Kelembutan (Wen Rui An)Onde histórias criam vida. Descubra agora