"Stay here. She is okay. I'll call her." Adrian menghela napas, mencoba menghalau kekhawatiran yang perlahan-lahan merangkak memasuki batinnya. Cowok itu beranjak menjauh sedikit dari Azalea setelah memastikan gadis itu sudah lebih tenang dari sebelumnya, kemudian mengeluarkan ponsel dan mendial nomor Azalea yang tersimpan di daftar kontak.

Tidak ada dering, apalagi jawaban.

Masih belum menyerah, Adrian kembali mengulangi tindakannya.

Tetap saja sama. Tidak ada dering. Hanya ada pemberitahuan kalau nomor ponselnya tidak aktif. Kemudian senyap.

Setelah usahanya yang keempat gagal, Adrian memutuskan untuk tidak lagi mencoba. Untuk pertama kali dalam hidupnya, dia seperti bingung hendak berbuat apa, sementara beberapa meter dari tempatnya berdiri, Azalea memandangnya putus asa. Tidak. Tentu saja tidak. Alamanda baik-baik saja. Dia mungkin hanya lupa mengisi ulang baterai ponselnya. Atau mungkin dia sedang berada di sebuah tempat dimana ponsel tidak boleh dinyalakan.

Mungkin saja kan?

Alamanda pasti sedang baik-baik saja.

"She is in there. I told you, she is in there." Azalea berbisik berulang-kali seperti orang paranoid ketika Adrian datang mendekat.

"She is alright."

"Liar!" Azalea berujar panik. Gadis itu berbalik, berniat mendekati bangunan toko buku untuk berlari masuk ke dalamnya ketika suara gemuruh terdengar dari salah satu sisi atap gedung toko buku yang roboh. Debu berhamburan, membuat beberapa pemadam kebakaran melompat mundur untuk menghindari runtuhan material yang berjatuhan. Gerakannya seketika terhenti. Azalea membatu, seperti kakinya telah dipaku pada tempat dimana dia berdiri. Air mata mengaburkan penglihatannya, tapi apa yang terpampang di hadapannya sudah cukup jelas;

Siapapun orang-orang yang masih terjebak di dalam bangunan toko buku itu, mereka tidak mungkin selamat. Api telah merembet, menyebar dengan rata di seluruh bagian bangunan. Bahkan dari jarak yang cukup jauh, Azalea bisa merasakan panas yang menyengat kulitnya. Warna oranye menguarkan cahaya terang, lidahnya menjilati langit seperti tengah menuntut Tuhan. Sisa pilar yang belum runtuh mungkin hanya akan bertahan kurang dari setengah jam. Ketika api padam, mereka hanya akan menemukan tubuh-tubuh terpanggang diantara puing-puing yang hampir rata dengan tanah.

Dalam kebekuan, setetes air mata lagi-lagi jatuh. Tanpa dia sadari.

"Azalea,"

Kekuatan seperti meninggalkan sekujur tubuhnya, pergi entah kemana. Lututnya melemas, membuatnya tidak lagi punya kemampuan bahkan hanya untuk sekedar tetap bergeming di atas kedua kakinya. Tubuh Azalea luruh, lututnya mencium tanah sementara wajahnya masih diliputi oleh keterkejutan bersimbah air mata.

"Lea" Adrian mengulangi panggilannya.

"I HAD THE CHANCE TO SAVE HER!!!! BUT YOU TOOK IT FROM ME!!! YOU LIAR!!!" Nada suara Azalea naik dengan drastis, dari kata-kata lirih nyaris tanpa bunyi menjadi teriakan bernada tinggi yang membuat orang-orang kembali memberikan perhatian pada mereka. Adrian tidak mempedulikannya. Dia justru berjongkok di depan Azalea yang telah terduduk di atas aspal. Tangannya meraih jemari gadis itu, melihat goresan luka yang terukir di sana. Merah di atas putih. Begitu kontras. Mengingatkan Adrian pada sesuatu yang menyedihkan.

"She is okay."

"BIG LIAR!!! YOU'RE A LIAR!!!!" Gadis itu menjerit diiringi oleh air matanya yang turun semakin deras. "LEPASIN GUE, BANGSAT!!! LEPASIN GUE!!!!"

Adrian mengabaikan ucapan Azalea. Alih-alih melepaskan tangan Azalea seperti yang dia minta, Adrian justru merengkuhnya, membawa gadis itu ke dalam pelukan. Dia bisa merasakan bagaimana kepalan tinju Azalea mendarat di dadanya, berusaha keras mendorongnya untuk menjauh, namun Adrian tetap bersikap keras kepala. Dia tidak peduli. Dia tidak benar-benar tahu dimana Alamanda sekarang, namun entah kenapa... ada secercah bagian dirinya yang membenarkan ucapan Azalea. Bahwa Alamanda terjebak di dalam gedung toko buku itu. Bahwa kemungkinannya bertahan hidup bahkan kurang dari satu persen.

ROSE QUARTZWhere stories live. Discover now