"If you like him, then just go for him."

"Kak Lea," Secara tidak terduga, tangan Manda terulur. Ujung jari-jarinya menyentuh punggung tangan gue. Terasa lembut. Seperti embun. "Kakak suka sama Kak Adrian?" Dia mengulangi pertanyaan yang tadi dia ajukan. Seuntai kalimat yang belum terjawab.

Gue terdiam.

Am I?

Apakah gue naksir Adrian? Kalau gue mengakui, rasanya itu nggak mungkin. Gue nggak punya waktu memikirkan masalah cinta. Gue sudah cukup pusing mengurusi perekonomian keluarga yang berdiri di atas sendi-sendi rapuh, juga tugas kuliah yang semakin bertambah seiring dengan setiap semester yang bergulir. Cinta hanya akan jadi racun. Cinta hanya akan membuat gue kehilangan fokus.

Tapi menyalahi arti debaran jantung yang terpacu lebih cepat setiap kali dia dekat adalah sesuatu yang menyedihkan. Pandangan matanya membuat dada gue terasa dipenuhi oleh rasa aman. Kata-katanya mampu membuat gue percaya bahwa hidup gue nggak akan hancur disini. Bahwa gue masih punya kesempatan untuk bahagia seperti yang lainnya.

Gue menghembuskan napas.

"Kak Lea?"

"Kakak nggak tau."

"Nggak tau?"

"Rasa itu sesuatu yang misterius. Dan kakak bukan lagi anak SMA yang bisa dengan gampang saling suka dengan orang lain. Atau pacaran. Semuanya nggak lagi sesederhana itu."

"Tapi kakak suka dia kan?"

Gue tersenyum tipis. "Suatu hari nanti, kamu akan sadar kalau seringkali, sekedar rasa itu nggak cukup."

"Aku ngerti. Tapi kan--"

Sebelum dia meneruskan ucapannya, gue mencoba mengalihkan topik pembicaraan dengan melihat pada kertas buku sket yang tadi dia tekuni. Sebuah keputusan yang salah, karena apa yang tergurat dalam gores penuh warna justru terasa serupa batu yang menyumbat kerongkongan. Gue terdiam, hampir lupa bagaimana caranya bernapas hingga Alamanda bergumam pelan.

"Maaf, kak."

Enggak. Dia nggak salah. Gambarnya indah. Seperti biasanya. Hanya saja, objek yang tergambar di atas kertas putih itu seperti blackhole yang mampu menghisap semua perbendaharaan kata dari dalam otak gue. Gambar itu membentuk seorang laki-laki berperut gendut yang terlelap di atas sebuah kursi. Tangannya memeluk bocah perempuan kecil dengan rambut yang dikepang. Dalam sekali lihat, siapapun bisa menyimpulkan kalau gambar itu menunjukkan kehangatan antara seorang ayah dengan anak perempuannya.

Sesuatu yang pernah kami miliki

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Sesuatu yang pernah kami miliki. Dulu.

Sudah terlalu lama segalanya berubah, hingga gue hampir lupa kalau gue pernah punya seorang ayah.

"Gambar kamu bagus." Gue berkata dengan susah payah, lalu berusaha keras memaksakan diri untuk tersenyum. "Ah ya, kamu ada rencana pergi keluar hari ini? Kalau nggak, kamu bisa ikut kakak ke kafe. Biasanya Adrian dateng. Siapa tau kalian bisa diskusi."

ROSE QUARTZWhere stories live. Discover now