Chapter 14 - Apartment

166 16 0
                                    

   Cahaya oranye yang semakin melebur dalam kegelapan langit malam adalah keadaan cakrawala sekarang. Sore menjelang malam ini Kyle habiskan dengan bersantai di sofa ruang keluarga. Entah sudah berapa lama ia memijat ponselnya yang menampilkan aplikasi permainan tersebut. Kebiasaannya bermain game sudah wajar membuatnya lupa akan waktu, termasuk kali ini.

   Pada saat ia memainkan ponselnya, terdapat iklan yang ada di atas layar. Iklan yang terpasang berupa game membangun kota, dengan rumah sebagai sampul utamanya. Membuatnya teringat pada tugasnya yang belum ia tuntaskan, yaitu mencari apartemen untuk ditinggalinya.

   Rasa tidak nyaman merayapinya karena sudah beberapa hari ia terus menginap di rumah orang lain, namun di sisi lain, ia juga merasa bahwa ia lebih nyaman bila berada di rumah sahabatnya itu. Dan untuk kesekian kalinya, keputusannya jatuh lagi pada pilihan untuk menginap di rumah Samuel.

   "Ayo makan!" ajak Tiffanny yang sedang berdiri di ambang pintu.

   "Kau tak lihat aku sedang apa?"

   "Tapi ini makan bersama. Kau tahu bagaimana menyebalkannya bila Samuel mengomel, bukan? Aku lelah mendengar perdebatan kalian yang terlalu jenius dan rumit tentang filosofi, dunia, luar angkasa, alien, fenomena, filsafat—hingga berjam-jam hanya karena kau tidak ingin makan bersama."

   Kyle menghembuskan nafasnya perlahan. Ya, inilah resiko tinggal bersama Samuel yang sangat manja.

   Kyle bukanlah tipe pria yang makan tepat waktu, ia lebih senang makan sendirian di jam tengah malam di saat suasana gelap dan hening. Namun siklus kebiasaan anehnya itu pun hancur saat Samuel memergokinya sedang makan sendirian pada tengah malam.

   "Tck, baiklah.

--

   Suasana makan malam yang biasanya terkesan ramai dan asyik tidak tercipta sama sekali. Samuel tampak memikirkan sesuatu, dan Tiffanny juga mengamatinya terus tanpa disadarinya. Bahkan Kyle sampai heran dengan sikap kawannya yang berbeda jauh dari sikap normalnya.

   Biasanya Samuel selalu bercerita heboh tentang bagaimana ia menghabiskan setiap detik hidupnya yang ia lalui sepanjang hari. Ya, setiap detik dari hidupnya ia jelaskan dengan detail. Namun, tentu saja, Tiffanny tak mengerti apa yang Samuel katakan, karena kecepatan berbicara Samuel mencapai rata-rata sepuluh kata per detik saat ia mencurahkan hatinya.

   Tiffanny mengira Samuel selalu melakukan rap saat makan, meski sebenarnya Samuel sedang mengadakan sesi curahan hati.

   Tentu saja, dengan indra yang sangat peka, bagi Kyle, kata-katanya sangat mudah ditangkap.

   “Sam? Apa—kau tidak ingin menunjukkan sesi rap kali ini? Kau tahu, menurutku kau sangat berbakat dan itu meningkatkan nafsu makanku,” ujar Tiffanny polos.

   Samuel membalasnya dengan senyum kecut. Ia pun kembali berkutik dengan sendoknya yang berbentuk unicorn putih dan merah muda di ujungnya, bersama dengan tanduk unicorn-nya yang terbuat dari berlian asli.

   Ya, tipikal anak orang kaya.

   "Ada apa? Kau tak ingin mengeluarkan busa dari mulutmu?" tanya Kyle dengan nada sarkastis.

   "Nilai ulanganku jelek tadi, aku hanya mendapat nilai 98,5. Aku yakin para dewa sedang marah padaku karena kemarin aku tidak mengadakan ritual membakar sprei kasur." Senyumnya mengembang dengan paksa.

   "Tidak. Bukan itu."

   "Eng... sebenarnya seminggu lagi orangtuaku akan pulang ke sini," ujarnya dengan pelan.

   "Lalu? Bagaimana denganku dan Kyle?" Tiffanny menyahut seraya menatap dalam Samuel.

   "Yah—tentu saja Kyle tidak apa-apa karena orangtuaku sangat dekat dengannya. Namun, soal kau—,” ujar Samuel, berhenti, lalu melanjutkan.

LieonsМесто, где живут истории. Откройте их для себя