And I know too well that you need to have courage to stay delicate in this rough world.

"Kenangan itu semu. Dia nggak punya wujud. Tapi dia selalu punya cara untuk mempengaruhi hidup kita, karena meski keadaan berubah, kenangan itu akan selalu tetap sama. Karena walau orangnya sudah nggak ada, kenangan itu nggak akan mudah terlupa."

Mata Alamanda yang bening terarah pada gue. Murni. Tanpa satupun gejolak emosi.

"Itu hak kamu untuk tetap ingat sama Ayah. Tapi kamu harus tau, sampai kapanpun dia nggak akan pernah kembali."

Alamanda terdiam. Gue mencoba menyunggingkan seulas senyum tipis dengan susah payah sebelum meraih tas punggung gue yang tergeletak di atas bangku. Kesenyapan melingkupi, namun sebelum gue melangkah sepenuhnya ke dalam rumah, suara Alamanda yang memanggil nama gue otomatis langsung membuat langkah kaki gue terinterupsi.

"Kak,"

"Hm?"

"Tadi Kak Adrian bilang, lusa kakak harus pergi ke dokter sama dia."

Oh. Pasti soal jahitan luka di depan telinga gue. Gue bahkan hampir lupa soal itu, meskipun setiap kali membasuh wajah, jari gue nggak berhenti menyentuh benang yang mencuat. Gue bersyukur lukanya bisa ditutupi rambut, karena kalau nggak, mungkin satu kampus sudah akan mencerca gue dengan ledekan yang bikin panas telinga.

"Oke."

Alamanda menanggapi ucapan gue dengan secuil gelak kecil yang terlompat dari mulutnya. Gue membisu sebentar di ambang pintu. Kadang, rasa lelah nggak hanya bisa dihilangkan dengan tidur atau istirahat. Gue balik memandangnya, lantas tersenyum sekali lagi sebelum benar-benar melangkah masuk ke dalam rumah.

***

Sebetulnya, Adrian tidak pernah suka berlama-lama berada di tempat sejenis rumah sakit atau ruang tunggu praktek dokter. Bau kloroform dan antiseptik yang menguar dari setiap jengkal ubin selalu membangkitkan memori buruk dalam sudut ingatannya yang tidak pernah ingin dia kenang. Samar, ada bayangan pada suatu malam dimana dia duduk menunggu diantara sekat tembok putih bersama kedua kakaknya. Wajah mereka diliputi bukan hanya ketegangan, namun juga kekhawatiran. Adrian merasa resah, berharap penantian itu segera berakhir dan dia bisa pulang ke rumah untuk bertemu kasurnya. Pada akhirnya, penantian itu selesai, tetapi dengan hasil yang tidak pernah Adrian inginkan.

Sejak hari itu, Adrian tidak pernah lagi melihat Papa. Beliau menjelma ke dalam sosok tubuh kaku berhiaskan sejumlah luka juga memar besar berwarna ungu gelap di sejumlah bagian tubuhnya. Mama menangis keras ketika Papa diturunkan ke liang lahat, sementara Adrian terdiam di sisi lubang, menatap nanar tanpa mengerti apa yang harus dia lakukan.

Adrian belum cukup dewasa untuk mengerti, tapi memori akan ruang tunggu dan bau antiseptik yang menggelitik indra penciuman tidak pernah gagal membuatnya merasa ngeri. Namun begitu, Adrian tidak bisa membiarkan Azalea pergi ke dokter sendirian. Adrian tahu bagaimana tidak enaknya berada di ruang tunggu hanya bertemankan kesunyian, jadi cowok itu tidak akan membiarkan Azalea mengalami situasi yang sama.

Mereka langsung bertolak ke tempat praktek dokter keluarga Adrian sesaat setelah shift Lea di kafe tempatnya bekerja part-time selesai. Kalau boleh jujur, Adrian bukan orang yang suka menunggu. Namun entah mengapa, duduk berjam-jam di sudut kafe sambil menyedot iced americano terasa menyenangkan. Adrian bisa melihat bagaimana Azalea merengut sedikit ketika ada pelanggan yang begitu menyebalkan nan cerewet, atau bagaimana helai anak rambut Azalea jatuh membingkai sisi-sisi wajahnya tatkala dia berkonsentrasi menuliskan nama customer pada cup kopi yang akan disuguhkan.

Gadis itu seperti spektrum dalam cakram warna pelangi. Penuh dengan gejolak emosi. Juga aliran inspirasi yang seolah tidak pernah berhenti. Empat jam memperhatikan Azalea bekerja menciptakan banyak gambaran karya dalam benak Adrian.

ROSE QUARTZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang