Aries menatap Faris dengan lekat.

"Bros before hoes. But bros are bros. We don't do our bestfriends' lovers and exes. We don't really care about it, honestly." Faris menambahkan, lalu dia kembali meneruskan. "Sori, kalau gue pamit sekarang nggak apa-apa kan ya? Gue punya urusan lain."

Aries tetap saja terbungkam, namun Faris tidak mau repot-repot menunggu jawaban. Cowok itu menggeser kursinya ke belakang, bangkit lantas melenggang santai dengan kantung plastik di tangan kanan. Tujuannya tentu saja sudah pasti. Dia akan pergi ke apartemen Cleo, meskipun tidak diragukan lagi dia akan terjebak macet di jalan.

***

"Tuh yang namanya Alamanda, kalau lo mau tau." Mata Adrian mengikuti arah dimana jari telunjuk Abu bermuara, sebelum menoleh pada cowok itu dan mengucapkan terimakasih. Abu adalah juniornya, berada satu tingkat di bawah Adrian dan sempat bertugas menjadi anggota panitia pendidikan karakter untuk mahasiswa baru. Sebetulnya bukan berarti Adrian tidak benar-benar tahu bagaimana Alamanda terlihat. Semalam, ketika mengantar Azalea ke rumahnya, dia sempat mampir sejenak walau hanya sampai teras depan. Rumah Azalea melewati sebuah gang sempit yang hanya bisa dilalui oleh satu sepeda motor, membuat Adrian harus turun dari mobil dan menyertai gadis itu berjalan kaki. Azalea sempat menolak, tentu saja. Tapi Adrian tidak bisa membiarkan seorang gadis berjalan sendirian, terutama kala langit sudah gelap.

Dalam penerangan yang cukup, Adrian bisa melihat bahwa Alamanda punya kemiripan dengan kakak perempuannya. Mata mereka serupa. Perbedaan ada pada postur Alamanda yang lebih mungil dan kesan ramah khas anak kecil yang tersirat di wajahnya. Adrian sengaja menunggu Abu pergi lebih dulu sebelum memutuskan mendekati gadis itu.

"Halo, Manda."

Alamanda menoleh, sontak matanya melebar begitu dia mengenali sosok Adrian. "Kak Adrian?"

"Lagi apa?" Adrian bertanya sambil menarik bangku kantin yang berada tepat di depan Manda. Kantin FSRD tidak sebesar dan seramai kantin teknik. Daripada nongkrong di kantin, kebanyakan anak-anak seni lebih suka berada di taman terbuka di sisi timur fakultas, duduk bersama teman atau hanya sekadar bengong memandangi rerumputan menanti ilham.

"Ngegambar."

Iris hazel Adrian bergerak mengikuti satu arah, pada kertas dalam buku sket yang terbuka di depan Alamanda. Ada guratan abu-abu pensil disana, membentuk siluet seorang pria yang sedang menggandeng anak kecil. Keduanya memunggungi sudut pandang gambar, menatap pada bukit dimana matahari terlihat menyembul malu-malu di baliknya. Ada kerinduan yang mengalir. Adrian menghela napas. Berbeda dengan Azalea yang terlihat benar-benar tak mau lagi mengingat ayahnya, Alamanda justru sibuk menguntai keping rindu untuk lelaki itu.

"Gue denger lo bener-bener pengen ketemu gue, sampai-sampai kakak lo sibuk ngejar-ngejar gue biar mau diajak ketemu sama adiknya." Adrian mengawali, membuat rona merah menyebar seketika di wajah Alamanda. "Gue pernah denger juga kalau katanya lo sempat nggak ngampus karena sakit. Sakit apa?"

"Bukan sakit."

"Hm, terus?"

"Ceritanya panjang."

"You just don't want me to know, do you? It's okay."

"Bukan gitu." Alamanda terlihat ragu sejenak. "Aku rasa Kak Adrian nggak akan mengerti. Atau Kak Adrian justru akan memandang aku aneh."

"Nevermind. Gue menghormati keputusan lo kok. Sejujurnya, gue juga mau minta maaf. Maaf udah ngejutekin kakak lo. Maaf udah bikin dia pulang kelewat malem. Sebenarnya, setelah bertemu langsung sama lo sekarang, gue jadi agak menyesal."

ROSE QUARTZWhere stories live. Discover now