"Because you're handsome as hell."

Gerakan tangan Adrian berhenti sebentar. Kepalanya terangkat, membuat matanya menatap lurus pada Lea. Sebuah tindakan yang seperti punya kemampuan menghipnotis, karena begitu sadar tengah ditatap, Lea langsung berhenti mengunyah.

"Kenapa?" Lea bertanya lagi, tidak bisa bertahan terlalu lama di bawah tatapan jenis pandangan yang Adrian arahkan.

"Apa lo juga berpikir sama seperti cewek-cewek itu?"

"Gotta admit, your look is... a little above average."

Adrian justru menarik salah satu ujung bibirnya, menciptakan sebentuk seringai yang membuat rona merah lagi-lagi menjalari pipi Azalea.

"Oke, gue menyerah. Lo emang ganteng."

Senyum Adrian terkembang sepenuhnya. "Thanks." cowok itu berujar sebelum kembali bergerak memotong makanan yang berada di atas piringnya. Azalea terdiam sebentar, menekuni wajah menyenangkan pemuda itu sebelum berpura-pura menekuri butir-butir nasi paprika di hadapannya.

"Anyway, you are not an awkward person." Tiba-tiba Adrian bicara lagi. "Lo tadi bilang, kalau lo bukan orang yang punya banyak teman. Gue rasa itu bukan kesalahan lo."

"Enggak. Itu salah gue. Sejak gue kecil, gue nggak suka berada diantara banyak orang." Azalea mengaku dengan senyum tipis yang terkesan jenaka mekar di wajahnya. "Berbeda dengan Manda. Adik gue itu... dia easy going banget. Gampang bergaul sama orang baru. She has the ability to see beauty in everything. Dia juga jago gambar, sementara gue? Paling banter cuma bisa bikin gambar legendaris sejuta umat."

"Gambar legendaris sejuta umat?"

"Lo nggak tau?" Azalea justru balik bertanya, yang dibalas Adrian dengan gelengan terpatah.

"Belum pernah denger."

Tawa Azalea pun pecah. "Nanti deh kapan-kapan gue kasih tau."

"Kalau bisa sekarang, kenapa harus kapan-kapan?"

"Karena gue suka bikin orang lain penasaran. Apalagi kalau orangnya lo."

"Dari awal, lo emang udah bikin gue penasaran."

Azalea mencibir. "Gue meragukan itu."

"Oke, mungkin awalnya enggak." Adrian terkekeh. "I mean, lo aneh banget. Kita nggak pernah kenal sebelumnya. Kemudian nggak ada angin nggak ada hujan, lo mendadak nongol. Lo maksa gue bertemu dengan adek lo. Gue nggak pernah nyaman berada di dekat cewek, lo tau. Kecuali beberapa cewek dan cewek-cewek paling cantik sedunia yang ada di rumah. Sejujurnya, lo sempat bikin gue takut."

"Takut? Emang gue nyeremin?"

"Banget. Faris bahkan bilang kalau lo lebih serem dari sundel bolong."

"Udah pernah denger sih. Jadi nggak kaget." Azalea menukas dingin.

"Jangan marah sama Faris. Dia memang hobi bercanda. Tapi ya, awalnya gue berpikir lo itu psikopat. Gimana enggak? Dandanan lo super badass, ditambah lagi ransel yang bikin lo keliatan kayak tentara mau melaju ke medan perang. Atau kayak psikopat lagi mengangkut mayat korbannya sebelum menemukan tempat yang pas buat membuang mayat itu."

"Lo kebanyakan nonton film." Gadis itu berucap dengan nada geli.

"Yah, tapi setiba-tiba kehadiran lo, semendadak itu juga lo menghilang. Gue jadi penasaran. And I saw something different in you compared to another girls."

"Is it bad?"

"It is... complicated. Selama ini, gue suka membayangkan cewek sebagai panorama. Atau warna. Bukan berarti gue mengibaratkan cewek sebagai benda atau objek, tapi karena setiap cewek punya kesan yang berbeda. Keindahan yang nggak pernah serupa. Gue nggak tau lo kenal sama pacarnya Jeviar atau nggak, tapi pada dia, gue melihat kesan biru. Tenang seperti danau yang ditinggali setengah lusin angsa, namun juga dalam sampai-sampai nyaris nggak kebaca. Beda lagi untuk teman gue yang lain. Dia menguarkan merah. Penuh energi. Berapi-api. Nyaris nggak ada masa dimana dia jadi melankoli. Meski terkadang merah itu bisa menggelap, tapi merah tetap merah. Keceriaannya nggak akan pernah punah."

ROSE QUARTZOnde as histórias ganham vida. Descobre agora